Ada sebuah pepatah yang biasa digunakan Pak Dahlan Iskan (Meneg BUMN) untuk menggambarkan daerah yang kaya akan sumber energi namun justru mengalami krisis listrik,
Ayam Mati di Lumbung Padi.
Pagi ini ijinkan saya memakai pepatah tersebut untuk menggambarkan pengalaman pribadi yang sedikit mirip dengan pepatah tersebut. Inilah cerita saya.
Sudah 6 bulan lebih saya dan 2 teman lainnya (Ferry dan Ipung) mengontrak sebuah rumah sederhana di daerah Cileungsi. Rumah yang kami kontrak cukup sejuk dengan beberapa pohon rindang di depan dan samping rumah. Rumah ini pun cukup strategis, hanya berjarak 10 meter dari halaman masjid. Pemilik rumah ini adalah sebuah keluarga kecil yang tinggal tepat di depan rumah kami, keluarga Pak Bandono. Beberapa minggu yang lalu, kami bertiga baru saja memperpanjang kontrak sampai bulan Mei 2012.
Cerita ini berawal ketika 2 hari yang lalu, tepatnya Jumat malam, kedua teman saya pergi berlibur ke Puncak. Praktis tinggal saya sendiri di rumah. Akhir pekan itu saya memang berencana untuk
bersih-bersih rumah dan seisinya.
Hari Sabtu saya memulai merapikan kamar tidur, ruang keluarga, dan dapur. Kemudian saya melanjutkan dengan menyapu dan mengepelnya. Setelah semuanya selesai, saya mencuci semua tumpukan baju kotor yang sudah seminggu ini menumpuk begitu saja. Cukup melelahkan namun sangat menyenangkan. Malam harinya, seperti biasa saya menonton tim kesayangan saya berlaga, Manchester United. Hanya segelas air putih dan sebungkus martabak manis yang menemani saya. Menjelang pertandingan berakhir, saya mulai mengantuk dan terlelap di depan TV. Saat itu pula tiba-tiba sebagian lampu di rumah saya dan TV mati tanpa diketahui sebabnya. Saya yang sudah terlanjur mengantuk berat spontan beranjak dari depan TV, membawa serta bantal guling untuk pindah tidur di kamar.
Keesokan harinya saya memanggil teman yang kebetulan salah satu lulusan elektro terbaik di kampus saya. Lulus dengan predikat
cumlaude, dia merupakan andalan bagi saya bila listrik mati. Setelah berdiskusi beberapa saat, ditemukan beberapa hipotesa. Inti dari hipotesa itu listrik mati karena hubungan arus pendek sehingga merusak
circuit breaker. Sedang asal hubungan pendek terjadi, kami tidak tahu. Alhasil kami simpulkan untuk mencoba mengganti
circuit breaker yang kami klaim sudah rusak.
Setibanya di toko alat-alat listrik, teman saya langsung menyebut
part yang dimaksud dengan bahasa khas kampus. Nampak jelas rona wajah penuh kebingungan dari sang pemilik toko seperti halnya orang yang baru saja mendengar istilah yang sangat asing. Melihat situasi itu, saya meminta teman saya untuk menunjukkan saja foto
part yang memang telah kami ambil sebelumnya. Barulah sang pemilik toko tertawa sembari berujar "Oalah itu namanya
bla bla bla...". (ironi 1).Usai membayar kami pun bergegas pulang dan langsung mengganti
part yang diklaim telah rusak. Setelah mencoba beberapa kali akhirnya listrik rumah pun berhasil nyala, hore!
Siang harinya Pak Bandono dan seorang tukang membetulkan beberapa bagian rumah yang selalu bocor tiap kali hujan deras. Saya membantu semampunya. Saat beliau masuk ke rumah dan memeriksa dapur, beliau menanyakan sebuah sakelar yang terpasang kurang baik. Saya pun mulai mengurut kabel yang terpasang. Kabel tersebut bermuara di halaman depan, tepat diluar jendela kamar saya. Itulah sakelar untuk kabel pompa air. 6 bulan sudah saya tinggal, masih saja ada bagian rumah yang tidak saya ketahui (ironi 2).
Malam harinya (Minggu malam), saya dan Ferry yang baru pulang dari puncak mencuci motor bersama-sama. Di saat sedang membilas, tiba-tiba air yang keluar dari dari kran mulai berkurang. Saya bergegas mengecek pompa. Tiap kali sakelar ditekan pada posisi
on, listrik rumah kami selalu saja
trip. Setelah diulang berulang kali ternyata masih saja
trip. Saya pun baru sadar, ternyata yang menyebabkan hubungan arus pendek beberapa hari ini adalah pompa air. Kami pun memeriksa pompa air, tidak ada yang aneh. Siapapun tahu, hubungan arus pendek pasti berasal dari komponen elektronik. Salah seorang teman kami yang lulusan Elektro pun mengatakan hal yang sama. Hipotesa kami, motor pompa tersebutlah yang bermasalah. Malam itu kami terpaksa menghemat air untuk keesokan harinya.
Senin sore sepulang kerja, saya dan Ferry bersama-sama mencari tukang pompa.
Poor we are, sang tukang pompa sudah tutup dan baru bisa besok siang. Nampaknya kami harus lebih lama lagi menghemat air. Sepulang sholat Isya berjamaah di masjid, saya bertemu Pak Bandono. Saya utarakan masalah yang terjadi. Mulanya saya hanya ingin meminta bantuan untuk mengawasi tukang yang akan datang esok hari. Sayangnya, baik Pak Bandono maupun istri akan sama-sama pulang kerja di sore hari, sehingga tidak ada orang yang bisa mengawasi perbaikan pompa. Beliau bertanya apa yang rusak, saya jawab pompa mengalami konrsleting. Kemungkinan ada beberapa lilitan pada motor yang rusak.
Pak Bandono yang sudah sekian lama berkeluarga mengajak saya untuk sama-sama melihat kondisi pompa. Sebuah
screwdriver atau obeng dan sebuah
headlamp, saya berikan kepada beliau. Sembari Pak Bandono mencoba mengutak-atik motor pompa, saya diminta untuk menekan tombol sakelar. Sekalinya saya tekan ke posisi
on, listrik rumah saya langsung trip! Ferry yang baru pulang dari masjid langsung bergabung dengan Pak Bandono.
Tidak sampai 3 menit setelah saya menekan sakelar dan listrik seisi rumah mati, Pak Bandono setengah berteriak “Wah ini bukan motornya yang kornselting, ini kabelnya yang dimakan tikus!” (ironi 3). Seketika saya dan Ferry saling memandang. Senang campur malu (lebih banyak malu). Senang karena malam ini kami bisa mandi. Malu karena kami terlanjur bilang motor pompa kornsleting. Urat malu yang selama ini putus seakan-akan berfungsi semua. Malu karena kami lulus dari perguruan tinggi dengan status sarjana teknik, namun “payah” dalam menyelesaikan masalah seperti ini. Kami semakin malu karena telah gagal mencari akar masalah.
Tugas akhir kami yang dihiasi dengan bahasa khas akademisi nan sulit dipahami orang awam tidak menggambarkan apapun dari kami. Indeks prestasi yang kami raih pun bukan jaminan bahwa aneka ragam masalah bisa kami selesaikan. Namun yang pasti, kegagalan kami kemarin pun bukanlah akhir dari segalanya. Kami hanya butuh waktu untuk banyak berlatih. Kami siap belajar. Kami dirancang untuk terus berkembang. Supaya kelak tak ada lagi “
ayam mati di lumbung padi”, atau lebih tepatnya “
pompa mati di sangkar Insinyur”. Semoga kami bukan termasuk Sarjana Mesin yang "tahu segalanya" namun justru sama sekali "tak tahu" apapun tentang mesin.
Keep Learning, Keep Growing