Selasa, 31 Oktober 2017

Re-inventing your self!!

Re-inventing your self. Itu adalah judul sebuah artikel yang beredar di grup whatsapp beberapa hari yang lalu. Isinya cukup menarik bagi saya. Sebuah proses menemukan-lalu menumbuhkan kembali diri sendiri dengan tampilan yang berbeda dan lebih baik. Diceritakan beberapa perusahaan musti re-inventing karena tuntutan zaman, yang justru membuatnya tidak hanya sekedar bertahan hidup, namun justru bisa tampil lebih unggul.

Tuntutan re-inventing sebenarnya tidak hanya relevan dengan kondisi perusahaan yang terdesak dengan kondisi pasar/zaman. Idealnya, re-inventing sudah menjadi siklus bagi siapapun yang selalu ingin tumbuh. Sama halnya dahan sebuah pohon yan selalu tumbuh bergerak ke arah sinar matahari datang.

Situasi ini mengingatkan saya jadi teringat saat selesai wisuda. Masa kuliah telah usai, nilai IPK sudah keluar, karir organisasi telah paripurna, dan status mahasiswa pun sukses ditanggalkan. Saatnya bergerak ke step selanjutnya, dunia pasca kampus.

Tak mudah awalnya. Saya tahu apa yang sejak dulu ingin saya tuju dan saya hindari, tapi belum cukup yakin bagaimana caranya menuju ke arah sana. Setelah dipikirkan dengan masak, akhirnya mengerucutlah dua  tujuan besar yang harus dikejar , yaitu bekerja di multinational company dan sesegera mungkin berkeluarga, serta satu hal yang (kalau bisa) dihindari, yaitu  profesi engineer (lol).

Saya sejak awal lebih ingin berkarir di multinational company karena beberapa pertimbangan. Pertama saya ingin scale up, dari yang awalnya berinteraksi dengan teman-teman dalam level nasional, naik menjadi internasional. Kedua, kesempatan untuk belajar (sekaligus mempraktekan) keterampilan berbahasa asing pasti akan makin terasah. Ketiga, ada keinginan besar untuk mensejajarkan diri dengan rekan dari bangsa lain. Keempat, bergabung dengan multinational company tentu akan membuat peluang mendapatkan overseas opportunity makin besar. 

Gaji? Tidak terlalu menjadi pertimbangan, karena bagi saya poin 1 hingga 4 sudah cukup menggambarkan berapa pasaran gaji yang akan diterima.

Kelima, ini adalah keinginan yang terdengar agak kurang nyambung.

Pertimbangan yang kelima,saya ingin kerja di kota kelahiran saya, Cilacap. Ini lebih karena saya ingin memenuhi permintaan orang tua saya. Beliau ingin saya kembali ke rumah. Tapi siapa sangka, justru poin inilah yang akhirnya memudahkan saya meraih poin 1 hingga poin 4.

Begini ceritanya, tiga bulan setelah lulus kuliah, saya mulai bekerja di sebuah multinational company. Sembilan bulan selanjutnya, saya dipindahkan ke Cilacap. Masya Allah, setelah tercapai keingingan saya di poin 1 (berkarir di multinational company), lalu terwujud poin 5 (kerja di kota kelahiran saya, Cilacap). Selanjutnya, berkat doa orang tua, poin 2 hingga 4 nampak begitu mudah.

Lima bulan berikutnya saya dikirim ke Vietnam selama satu bulan. Sepulang dari Vietnam, saya dipindah ke Tuban dan bergabung dengan tim project sebagai Mechanical Engineer. Tugas saya meliputi pekerjaan engineering untuk project yang terkait auxiliary facilities, seperti fire protection, water supply, workshop facility, warehouse facility, dan modifikasi palletizer facilities.

Dalam kesehariannya, saya melapor langsung ke seorang manager berkebangsaan Rumania. Di tim project saya terbiasa berinteraksi dengan rekan dari berbagai negara, Canada, Rumania, Mexico, India, Kolombia, Jerman dan sebagainya. Di sela-sela periode tersebut, saya menikah saat usia baru 24 tahun.

Dua tahun di tim project, saya lalu bergabung di tim operasional sebagai Maintenance Engineer dengan tanggung jawab riset dan modifikasi yang terkait peningkatan performa alat, pekerjaan terkait capex project, dan root cause analysis untuk beberapa trouble  di pabrik yang terjadi berulang kali dan menyebabkan durasi stop yang panjang.

Tidak sampai dua tahun di tim operasional, saya mendapatkan kesempatan untuk ke Kenya, Afrika. Selama tiga minggu disana, saya menjalani program pengembangan diri untuk sertifikasi sebagai Preventive Maintenance Engineer. Setahun setelahnya, saya mempresentasikan sebuah proyek yang berhasil diselesaikan dalam waktu 9 bulan dengan tema peningkatan efisiensi performa unit pengemasan semen. 

Alhamdulillah, saya sukses melewati fase sertifikasi tersebut bersama sekitar 30-an rekan engineer dari negara lain.

Dalam rentang waktu lima tahun, semua yang dicita-citakan saat selesai kuliah, baik yang terkait pekerjaan maupun keluarga telah diraih. Kini saya memasuki lagi siklus re-inventing. Sama persis saat selesai wisuda.

**
Seperti yang diceritakan dalam artikel re-inventing your self, inilah saat nya saya menganalisis dan mengkaji current strength dalam diri saya. Lalu mendefinisikan area baru (green field) yang memungkinkan saya untuk tumbuh. Selanjutnya, tentukan strength dan knowledge apa yang perlu terus dikembangkan untuk memasuki green field area. Terakhir, saya harus beranikan diri untuk bergerak dan terus menantang diri sendiri agar tetap tumbuh.

Well, bukan step yang mudah untuk diselesaikan dalam waktu semalam. Setidaknya perlu dimulai dari sekarang. 

Bila dua tujuan besar telah diraih, bekerja di multinational company dan berkeluarga. Maka starting point selanjutnya bisa saya awali dengan mewujudkan satu hal yang sedari dulu justru ingin saya hindari namun belum juga berhasil yaitu profesi engineer.

Yes, it’s time for re-inventing my self and going to next level, beyond the engineer.

Doakan saya.


Keep Learning, Keep Growing!!

Rabu, 13 September 2017

Learning Attitude

Bismillah

Ini adalah postingan pertama saya setelah setahun (lebih sedikit) absen menulis. Ya, mempertahankan kebiasaan baik itu jauh lebih susah ketimbang memulainya. Semoga postingan ini bukan pertama dan terakhir untuk tahun ini.

Saya ingin memulainya lagi dari sebuah titik dimana saya berhenti sesaat untuk melihat lagi ke belakang sebelum melompat ke depan. Titik itu adalah hari dimana saya tepat 5 tahun berkarir sebagai engineer. Hari yang terasa singkat bila dihitung dengan bilangan tahun. Namun waktu yang lama untuk hanya sekedar menjalani rutinitas ala kadarnya.

Oleh karenanya, perlu sepertinya kita berhenti sejenak untuk melihat apa yang telah dicapai, apa-apa saja yang kurang berhasil, target apa yang perlu ditingkatkan. Semua dievaluasi sebagai bekal untuk melangkah ke depan dan mengejar target-target selanjutnya. 

Oke, selama 5 tahun berkarir satu pelajaran yang sangat berkesan adalah "learning attitude". Saya menyebutnya sebagai sesuatu yang harus kita jaga supaya kita bisa beradaptasi dengan lingkungan. Ini adalah sikap dimana kita harus mampu belajar dengan waktu singkat, belajar dengan siapa saja, dan mempertahankan semangat belajar itu sendiri.

Sebagai lulusan sarjana, tentu ekspektasi yang dibebankan tidaklah main-main. Banyak orang menganggap bahwa lulusan sarjana tahu banyak hal dan bisa membantu menyelesaikan banyak persoalan. Kenyataannya seringkali apa yang kita jumpai di lapangan atau dunia kerja jauh berbeda dengan apa yang kita pelajari di kampus. Perbedaan mindset dan approach dalam menyelesaikan sebuah problematikan sangat terasa.

Di bangku kuliah, kita terbiasa menyelesaikan permasalahan dalam bentuk soal cerita. Solusi yang dirumuskan pun hanya dalam bentuk jawaban atas pertanyaan soal tersebut. Kalaupun ada penugasan dalam bentuk real project, intensitasnya pun masih jauh lebih sedikit dibanding penugasan dalam bentuk paper work. Berbeda saat masuk di dunia kerja, kedua penugasan baik paper work ataupun field activities (terutama untuk maintenance engineer) memiliki porsi yang sama besar.

Situasi seperti inilah yang menuntut kita untuk gesit dalam belajar.  Bisa jadi ilmu yang kita pelajari selama kuliah tidak semuanya terpakai. Namun trick ataupun metode belajar kita selama kuliah akan terus terpakai. Oleh karenanya keterampilan belajar dengan cepat yang dibangun selama di bangku kuliah, akan sangat bermanfaat.

Bila kita selama kuliah kita senang belajar kelompok, maka tidak akan ada kesulitan berarti saat bekerja sama dengan rekan kerja. Bila kita terbiasa membaca textbook, maka tidak akan ada kesulitan berarti saat kita mencari informasi di OEM/manual book. Kalau kita terbiasa mbacem dan mencari teman yang tepat untuk dibacem, maka kita tidak akan panik saat menemui masalah yang belum pernah kita hadapi sebelunya. Karena kita tahu kemana harus bertanya dan mbacem of course.

Bahkan bila kita terbiasa mengerjakan tugas mendekati deadline, h-1 jam sebelum dikumpulkan, maka kita akan terbiasa bekerja di bawah tekanan. Haha (another good side).

*
Well, masih dalam konteks "belajar", kita akan lebih mudah menguasai sebuah persoalan bila kita mampu bekerja sama dengan orang lain. Kemampuan kita untuk berkomunikasi dengan pihak lain, membaca potensi kawan, dan menggerakan orang untuk bekerja bersama, akan sangat diperlukan di dunia kerja. Karena semakin banyak potensi yang bisa dikolaborasikan, makin besar peluang kita untuk menemukan solusi dalam waktu yang singkat.


Sebagai newcomer di sebuah tempat kerja. Kita akan dihadapkan oleh bervariasi nya rekan kerja. Baik dari usia, latar belakang pendidikan, dan tentu saja jabatan. Kepada rekan kerja yang lebih senior. Karena mereka terlahir lebih dulu untuk merasakan apa-apa yg sebagian besar belum pernah kita rasakan. Dari mereka lah kita akan belajar tentang experience, success stories dan kegagalan yang pernah dialami, sehingga kita bisa mengambil pelajaran.

Respect kepada yg masih muda. Meski belum tentu kita lebih pintar, mereka memiliki energi dan semangat yang belum tentu bisa kita samai. Dari merekalah kita bisa tertular energi yg lebih besar utk berkembang. Dari mereka pula kita bisa mendapatkan ide yang lebih fresh.

Kepada merekalah, rekan kerja yang lebih senior dan junior, kita padukan antara kebijaksanaan dan ambisi.

**
Learning attitude sebenarnya adalah akumulasi kebiasaan kita dalam belajar yang dimulai sejak kecil hingga kita lulus kuliah. Ini bukan soal bagaimana metode terbaik untuk belajar, karena masing-masing orang memiliki caranya masing-masing. Ini adalah tentang sikap kita sebagai pribadi yang terus memacu diri untuk belajar hingga jatah usia hidup habis.

Belajar bukan hanya perkara memperkaya diri sendiri dengan ilmu, namun bagaimana mengembangkan orang di sekitar kita untuk sama-sama tumbuh. Kita tidak akan pernah menjadi tertinggal hanya karena membantu orang lain untuk tumbuh.

Justru ilmu kita akan bertambah seiring dengan makin banyaknya orang yang mampu kita bantu untuk sama sama belajar. Karena bagaimanapun untuk tumbuh lebih tinggi, kita perlu partner (baik co-partner atau sparring partner) untuk membuat kita terus terpacu untuk bergerak dan belajar lebih jauh di tengah luasnya lautan ilmu.

Dan inilah yang harus terus kita pertahankan agar waktu yang kita habiskan tidak berlalu begitu saja, sebagaimana rutinitas yang membosankan. Namun ada value yang bisa kita raih, yaitu growth


Keep Learning, Keep Growing!!