Selasa, 16 April 2013

Cerita Pasca Menikah #3 (Di balik Pria Hebat)



Menjelang detik-detik pernikahan, tak sedikit orang yang dihantui keraguan dan ketakutan. Seorang sahabat saya hampir saja melarikan diri saat H-3 sebelum akad. Bahkan saya pun pernah mendengar berita tentang kaburnya seorang pemuda justru saat hari-H akad nikah. Begitu halnya dengan saya. Beberapa hari sebelum pengucapan ikrar janji suci, rasa cemas, ragu, takut, dan senang menghinggapi saya sekaligus. Saya hampir tidak percaya jika status lajang ini akan segera berakhir.

Salah satu ketakutan “tak berdasar” yang sempat saya rasakan adalah takut kehilangan ruang privasi. Setelah 24 tahun hidup sendiri dan bersama keluarga kandung, kini ada seorang muslimah yang akan menemani hidup saya. Bagaimana saya tidak khawatir, selama ini saya bisa bepergian ke mana pun saya suka. Ruang privasi itulah yang memberikan saya keleluasan untuk berekspresi, mencoba hal baru, berpetualang, menjalin pertemanan dengan siapa saja, dan aneka keleluasaan lainnya.

Semakin hari, ketakutan itu semakin berkembang biak dan menjadi-jadi. Bermula hanya takut pada satu hal, maka selanjutnya semakin banyak yang ditakutkan. Bila selama ini hanya memikirkan dan mengurus diri sendiri, maka sekarang mulai berpikir bagaimana caranya mengurus sebuah keluarga.  Tetap saja,  dari sekian banyak, yang paling membuat ragu adalah kenyataan bahwa tidak lama lagi saya akan hidup bersama dengan orang lain (istri).

Mungkin inilah yang saya sebut sebagai Pre-Wedding Syndrome. Sebuah awkward moment, dimana perasaan aneh yang muncul tiap kali kita akan memasuki sebuah fase hidup yang berbeda.

**
Berpegang pada semboyan “sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang”, saya pun melangkah mantap menuju lokasi akad nikah. Seusai para saksi dan ustadz mengucapkan sah, saya seperti merasakan ada beban 19 ton yang tiba-tiba hilang dari pundak saya.

Akhirnya, saya mulai mengarungi hari demi hari bersama istri saya. Seperti kebanyakan pasangan muda, di awal pernikahan saya justru merasa sangat menyesal. Penyesalan yang terasa sangat dalam. Saya menyesal mengapa tidak menikah dari dulu saja. Rasa penyesalan yang tentunya dibungkus rapi dengan kebahagiaan yang tidak bisa digantikan oleh kemewahan duniawi.

Awalnya, ketakutan yang sempat hinggap menjelang pernikahan, sama sekali tidak terpikirkan oleh saya. Karena saat itu saya benar-benar terbius oleh euphoria lepasnya status lajang. Namun, beberapa bulan berikutnya saya mulai berpikir ke mana perginya ketakutan saat pre-wedding syndrome.

Sebelum menikah, saya sempat takut kehilangan ruang untuk berekspresi, berpetualang dan mencoba hal baru. Nyatanya, setelah menikah saya memiliki partner yang luar biasa. Berekspresi dan berpetualang bersama istri ternyata jauh lebih menyenangkan.

Mulai dari berdua bersama menjelajah daerah yang belum pernah dikunjungi (lihat disini). Berburu sajian kuliner yang belum pernah kita rasakan sebelumnya. Bersama-sama membersihkan rumah. Berjalan-jalan berdua di toko-toko atau tenant furniture di mall. Hingga bahu-membahu menyiapkan materi yang akan dibawakan dalam sebuah pelatihan jurnalistik.

Pada kenyataannya, kehadiran istri sebagai partner mempermudah kita dalam banyak hal. Kesamaan pandangan dan misi hidup, mempermudah kita dalam berjuang meraih mimpi. Selain sebagai pengingat saat kita mulai lengah, dia juga bisa hadir sebagai motivator saat kita kelelahan. Bahkan tidak jarang, saya serasa memiliki trainer pribadi yang serba bisa. Bisa saling memotivasi semangat, bisa saling mengkoreksi, hingga bisa menjadi teman curhat 

Keberadaannya di rumah, membuat saya serasa sedang berada di EF (English First- sebuah tempat les bahasa Inggris). Saya seperti memiliki kamus berjalan. Karena selalu ada tempat untuk bertanya, mengoreksi spelling, mengingatkan untuk terus belajar bahasa, dan tempat konsultasi saat saya kesulitan dalam membuat report dalam bahasa Inggris. Dan khusus yang terakhir ini, saya benar-benar beruntung memiliki seorang istri yang lihai berbahasa asing. Berharap anak saya kelak memiliki 3 bahasa ibu sekaligus, Jawa, Indonesia, dan Inggris. :)

Selain itu,  kehadiran istri juga membuat saya memiliki pola makan yang teratur. Bukan rahasia lagi bila kita memasak sendiri, selain lebih lezat, kita juga bisa mengontrol mulai dari bahan mentah hingga cara memasak yang baik. Hingga semuanya bisa dipastikan sehat dan higienis. Begitu pula dengan kebutuhan rumah tangga lainnya, semuanya di-managed begitu rapi. Tidak berlebihan bila saya seperti seorang artis yang memiliki manajer pribadi.

Maka dari itu, ketakutan sebelum menikah bukanlah hal kecil yang perlu dibesarkan. Setelah menikah, saya juga semakin efektif dalam membelanjakan uang. Justru karena sudah berkeluarga, pengeluaran menjadi semakin fokus dan based on priority.  

Semua yang saya rasakan itu telah sukses mematahkan segala ketakutan dan keraguan yang dulu sempat muncul. Setiap menjelang sore, saya selalu tak sabar untuk segera pulang dan bertemu istri. Bahkan, sehari saja saya tidak memeluk dan mencium keningnya, saya seperti benar-benar kehilangan separuh jiwa. He..he..he

Pada akhirnya, hanya kekuatan tekad dan mental yang membuat kita tetap yakin dan percaya bahwa semua keraguan ini hanyalah cara Alloh agar kita terus berpikir hingga kita makin mantap dengan jalan yang kita pilih.

 
Foto ini saya ambil saat berada di dalam bus. Setiap pagi dia mengantar saya dari rumah menuju pick up point.


Saat kami berdua terbang dari Surabaya ke Bontang. :)



Bila sudah demikian, keberadaannya di sisi saya seperti Ainun di samping Habibie, Khadijah di samping Nabi Muhammad, Ratna di samping Prof. Daniel M Rosyid, Ifat Farizah di samping M.Hatta, dan Siti Amanah di samping Endi Suwandi. Selalu ada wanita kuat di balik kesuksesan pria hebat!



Keep Learning, Keep Growing!!

Rabu, 10 April 2013

The Greatest Glory in Living the Life (Hamil di Luar Nikah)

Pernah suatu ketika, seorang trainer menyampaikan ke saya sebuah quote terkenal dari Nelson Mandela, "the greatest glory in living lies not in never falling, but in rising every time you fall". Bila saya terjemahkan secara kasar ke dalam bahasa, kira-kira seperti ini bunyinya "Kesuksesan yang paling haqiqi dalam menjalani kehidupan tidak dilihat dari seberapa sering kita jatuh, tapi seberapa cepat kita bangkit saat kita terjatuh".

Banyak tokoh dunia yang telah membuktikan bahwa kesuksesan hanya bisa diraih setelah menemukan banyak kegagalan sebelumnya. Thomas Alfa Edison menemukan komposisi yang tepat untuk membuat sebuah bohlam lampu setelah melewati percobaan yang ke-100, dimana 99 perceobaan sebelumnya selalu gagal. Isaac Newton pun demikian. Setelah sekian lama mengutak-atik rumus. Akhirnya menemukan formulasi hukum gravitasi saat sedang istirahat di bawah pohon.

Pada intinya tidak ada kesuksesan yang instan. Semakin banyak kita mencoba, semakin banyak kita menemui kegagalan.  Dan bila kita semakin cepat bangkit, maka semakin dekat pula dengan kesuksesan.

Meski demikian, prinsip ini hendaknya digunakan untuk hal-hal yang positif, jangan untuk kasus yang akan saya tulis di bawah ini.

Diceritakan ada seorang ayah yang murka setelah mengetahui anak perempuannya hamil di luar nikah. Beliau hendak menuntut pertanggung jawaban dari sang pria.

"Siapa bedebah yang telah menghamilimu! Suruh dia datang menghadap Ayah!"teriak sang Ayah.
Sedang disampingnya, sang Ibu masih terus menangis tersedu-sedu.

Melihat Ayahnya murka, sang anak perempuan yang masih menangis pun bergegas mengambil dan menelepon laki-laki yang dimaksud.

"Bang, kalo abang memang pria yang bertanggung jawab, datang ke rumah saya sekarang juga bang", kata sang anak perempuan sambil terus menangis.

Tidak lama setelahnya, datang sebuah mobil Ferrari merah berhenti di depan rumah. Sejurus kemudian, turunlah seorang lelaki paruh baya dari mobil. Setelah mengucapkan salam dan dipersilahkan, sang pria pun masuk ke rumah.

Lelaki itu berhadapan dengan Ibu dan Ayah dari anak perempuan yang telah dihamilinya. Dia pun berkata, "Saya adalah pria yang telah menghamili anak bapak. Terus terang saya tidak dapat menikahi putri bapak, karena istri saya tidak mengizinkan saya."

"Meski demikian, saya akan tetap bertanggung jawab. Sekiranya anak bapak kelak melahirkan seorang bayi perempuan, akan saya wasiatkan sebuah supermarket, sebuah hotel, dan uang tunai 1 milyar."

"Dan sekiranya kelak anak bapak melahirkan seorang bayi laki-laki, saya akan mewasiatkan dua buah supermarket, dua buah hotel, dan uang tunai 2 milyar untuknya."

"Tapi sekiranya nanti anak bapak keguguran, apa yang harus saya lakukan?"

Sesaat sang Ayah pun berpikir di samping sang Ibu yang telah berhenti menangis.
Akhirnya, sambil menepuk punggung pria tersebut, sang Ayah berkata dengan bijak,
"Kalau keguguran, kamu coba lagi ya."



Keep Learning, Keep Growing!!

Selasa, 09 April 2013

Cerita Pasca Menikah #2 (Sampai kapan kami bisa bertahan?)



Hari-hari awal setelah menikah kami lewati dengan hidup terpisah. Saya di Tuban dan istri di Surabaya. Satu minggu berikutnya kami mulai tinggal bersama di sebuah kamar kos sederhana berukuran 3x4 meter persegi. Sebelum kami berhasil mengontrak sebuah rumah kecil di pinggiran kota Tuban, kami sempat tinggal di kamar kos tersebut kira kira hampir 3 minggu lamanya.

Hari-hari selanjutnya, bersama dengan istri, kami mulai membuktikan betapa menikah mampu membuat pintu rizki yang masih tertutup menjadi mudah terbuka . Entah bagaimana, kami mulai menempati rumah kontrakan dengan fasilitas yang mencukupi dan memadai. Meski tidak lengkap, ada perabotan dapur yang cukup untuk memasak. Pun demikian dengan pemberian/hadiah dari sanak saudara. Meski tak mewah tapi sangat membantu kami. Serta beberapa barang inventaris semasa kuliah yang masih berfungsi dengan baik dan bisa kami manfaatkan hingga kini.

Walaupun tidak banyak, kami memiliki tabungan yang cukup sebelum menikah. Dan barang "mewah" pertama yang kami beli bersama dari uang tersebut adalah "tempat tidur". Seperti kata Yoris Sebastian, setelah lelah beraktivitas selama seharian, tubuh berhak untuk beristirahat dengan nyaman. Kami ingin memastikan bahwa di malam hari kami cukup nyaman dan nyenyak dalam beristirahat, hingga kami cukup fit dan percaya diri untuk kembali beraktivitas keesokan harinya.

Bulan selanjutnya, barulah kami bisa membeli mesin cuci. Bukan tanpa sebab bila kami memilih mesin cuci sebagai incaran selanjutnya setelah tempat tidur. Sebelum menikah, kami bertekad untuk terus berkarya meski sudah menikah. Saya ingin memastikan bahwa kami (terutama istri saya) memiliki waktu dan kesempatan yang cukup untuk mengaktualisasikan diri dan bakatnya. Oleh karenanya, saya ingin istri saya tidak terlalu terbebani dengan aktivitas rumah tangga yang kasar atau tidak membutuhkan olah pikir yang rumit. For that reason, sebisa mungkin kami meminimalisir waktu yang dialokasikan untuk aktivitas tersebut.

To be honest, kami banyak terbantu setelah memiliki mesin cuci. Kami bisa menulis atau mengerjakan pekerjaan lainnya sembari mencuci pakaian. Sayangnya belum ada mesin setrika otomatis, sehingga sebanyak apapun cucian, tetap saja kami harus mengalokasikan waktu khusus untuk menyetrika. Biasanya ini tugas saya di akhir pekan.

Meski demikian, ada satu barang yang lazim ada di tiap rumah, namun belum juga kami beli. Tak lain tak bukan adalah televisi. Saya pernah tinggal di asrama selama 2 tahun tanpa televisi. Bukan berarti selama itu tidak menonton televisi, tapi mengurangi intensitas menonton televisi. Saya biasanya pergi ke warung kopi atau kontrakan teman bila ingin menonton acara MotoGP ataupun Barclays Premier League.

Sebagaimana saat akan membeli tempat tidur dan  mesin cuci, kami selalu berpikir panjang sebelum membelanjakan uang. Selain karena keluarga baru, kami juga ingin memastikan bahwa setiap barang yang dimiliki memberikan dampak yang positif terhadap kualitas kehidupan kami. 

Apa gunanya televisi bila mengurangi quality time diantara kami? Setiap harinya, saya berangkat meninggalkan rumah kontrakan sekitar pukul 6 pagi. Sekitar 12 jam kemudian, atau seusai menuaikan sholat Maghrib saya baru tiba di rumah. Aktivitas ini terus berulang dari hari ke hari. Tidak heran bila kami harus cermat dalam mengoptimalkan waktu yang tersisa.

Selama ini kami banyak menghabiskan sisa waktu di malam hari untuk berdiskusi dan bertukar pikiran. Saling bercerita tentang hal-hal yang telah dilalui dalam satu hari. Saling menginspirasi satu sama lain. Saling bercanda dan bersenda-gurau. Saling membesar-besarkan dan membanggakan kota kelahiran masing-masing, meski kami tahu sebenarnya tidak banyak yang bisa dibanggakan dari kedua kota tersebut. Terkadang kami juga saling bertukar informasi tentang buku yang sedang kami baca. Kami pun merencanakan keuangan keluarga bersama. Hingga merencanakan liburan pekanan.

Melihat kondisi seperti itu, apakah lantas kami ketinggalan berita dan informasi terkini dari dunia luar? Keberadaan smartphone dan personal computer membuat kami masih bisa mengakses internet. Ini artinya pemenuhan kebutuhan kami akan informasi dan berita masih bisa di-substitusi oleh keberadaan dua gadget tersebut.

Namun demikian, kami juga bukan pasangan yang kaku terhadap perkembangan zaman. Kami selalu mengevaluasi setiap keputusan yang kami ambil bersama. Bagi saya pribadi, keberadaan televisi tidak berpengaruh banyak. Toh saya pernah hidup 2 tahun tanpa televisi. Namun berbeda dengan istri saya. Selama seharian beraktivitas di rumah, ada kalanya dilanda  rasa bosan. Meski, saya yakin tidak akan menonton televisi sepanjang hari, kehadiran televisi kadang kala bisa membantunya untuk mengusir kesepian.

Seandainya kelak kami pun “menyerah” juga dan akhirnya membelanjakan uang untuk membeli televisi. Kami harus memiliki rule yang jelas meski hanya untuk menontonnya. Jangan sampai kehadiran televisi membuat kami terlena, kehilangan quality time , dan tidak fokus dalam berkarya.

Apalagi bila kelak anak kami lahir, jangan sampai mereka kecanduan terhadap televisi. Lebih-lebih bila sampai meninggalkan waktu sholat dan belajar hanya untuk menikmati acara yang kurang mendidik.

Meski demikian, sebelum terlalu jauh membahas bagaimana kami akan me-manage dalam memanfaatkan televisi, terlebih dulu kami harus menjawab pertanyaan yang satu ini.

"Sampai kapan kami bisa bertahan (tanpa televisi)?"
 
Sumber : website-bizweb.blogspot.com



Keep Learning, Keep Growing!!