Minggu, 14 Februari 2016
Essay Prolead ALITS 2016
Jumat, 05 Februari 2016
MU dan Prof Shahab
Saya punya banyak teman dengan idolanya masing-masing dan jauh lebih fanatik daripada saya. Menonton pertandingan, baik secara langsung atau lewat televisi, wajib hukumnya. Koleksi segala pernak-pernik tentang klub adalah hobi yang lumrah. Berita dan gosip adalah buruan utama saat berselancar di dunia maya. Bila bertemu dengan teman yang berbeda idola, berbalas ejekan adalah hal yang biasa. Apalagi kalau tim mereka atau idola mereka baru saja saling berduel dan saling mengalahkan.
Kamis, 28 Januari 2016
Cerita Pasca Menikah #13 : I am the lucky one
Saat kecil, saya bukan tipikal anak yang bisa fokus dan duduk diam. Tak ada hari yang tak dilewati Mama saya kecuali rasa was was dan cemas atas tingkah saya.
Beliau tanpa lelah terus mencari cara supaya saya bisa diam. Setidaknya diam untuk beberapa saat. Pencarian terus dilakukan hingga ditemukanlah minat saya saat itu.
Saat kecil saya suka melukis, tapi tak pernah benar-benar bisa melukis. Saya lebih banyak membuat coretan abstrak di dinding ketimbang menggambar bentuk yang baik dan benar.
Oleh karenanya saya dimasukkan ke dalam sanggar melukis, supaya bisa melukis dengan benar.
Selama hampir 4 tahun menimba ilmu di sanggar melukis, saya belajar banyak hal. Tapi semua itu masih tak cukup membuat saya benar-benar bisa melukis.
Selama periode itu pula saya berulang kali mengikuti perlombaan melukis dan beberapa kali terpilih menjadi yang terbaik. Pencapaian inipun tidak membuat saya serta merta menjadi seorang pelukis yang benar. Prestasi dalam kejuaraan melukis tidak lebih karena selera juri yang "kebetulan" pas dan cocok dengan hasil karya kita. Saya menyebutnya keberuntungan.
Setelah berhenti dari sanggar lukis, aktivitas melukis pun jauh berkurang. Hanya momen momen tertentu saja saya akan melukis. Meski demikian, kecintaan saya akan seni lukis belumlah pudar. Beberapa kali saya datang dan menikmati pameran lukisan. Saat itulah saya seolah-olah merasakan kembali sebuah rasa yang telah lama hilang.
Berulang kali saya mengunjungi pameran lukisan, berulang kali pula saya ingin kembali melukis. Karena melukis bagi saya bukan hanya melulu bercerita tentang sebuah karya seni.
Tapi lebih dari itu, aktivitas melukis membuat saya bisa menghadirkan memori dan kenangan manis tentang kasih sayang seorang Mama yang ingin anaknya bisa duduk diam dan menghasilkan karya.
Hingga akhirnya terbersitlah harapan untuk memiliki partner hidup yang memiliki minat dan ketertarikan yang sama, melukis. Seseorang yang saya harapkan memiliki kemampuan melukis dan berkarya jauh lebih baik dari saya. Karena saya ingin partner yang bisa membimbing anak saya (kemungkinan sama seperti saya, tidak bisa diam) untuk melukis dengan baik dan benar.
Alhamdulillah, Allah menganugerahkan seorang istri yang jauh melebihi ekspektasi saya. Bukan hanya bisa melukis, tapi juga lulus dari perguruan tinggi dengan jurusan yang berhubungan dengan seni.
**
Selang beberapa waktu, kami pun diberi amanah seorang bayi laki laki. Kini si bayi tanpa terasa telah 22 bulan menemani hari hari kami. Tingkah polahnya tak jauh beda dengan saya. Tak bisa diam dan selalu membuat was-was.
Hingga suatu ketika, kami sedang beres-beres rumah saat saya menemukan seperangkat alat lukis yang telah lama tersimpan dan lama tidak digunakan. Ini adalah alat lukis yang saya simpan sejak SMA. Sementara istri saya pun menyimpan alat yang sama sejak kuliah.
Saat itu juga muncul ide dari kami untuk mengenalkan alat lukis tersebut kepada sang anak. Bisa ditebak, dia sangat menyukainya. Seketika duduk diam di depan kanvas, diambilnya palet dan dituangkannya cat acrylic. Tangannya kemudian mulai beraksi meraih kuas.
Setelah dioleskan di pallet yang berisi cat, digoreskanlah kuas tersebut ke kanvas. Tak ada kesan ragu-ragu, hanya keberanianlah yang terlihat di tiap goresannya. Itulah pertama kalinya momen-momen kami mendampingi anak sekaligus melukis bersama di atas kanvas.
Saya mengenal kuas dan kanvas di usia 15 tahun. Istri saya pun mungkin tak jauh beda. Sementara anak saya mengenalnya di usianya yang belum genap 2 tahun.
Yah, kesamaan hobi dan pandangan akan melukis, membuat kami berdua begitu mudah mengenalkannya pada anak. Semoga dia tumbuh jauh lebih baik dari kami berdua.
How lucky I am to have a partner like you my dear.
Keep Learning, Keep Growing!!
Jumat, 15 Januari 2016
Liburan Tematik Akhir Tahun (Bag.1)
Wefie di House of Sampoerna Surabaya |
Kamis, 07 Januari 2016
Keluar Zona Nyaman atau Memperluas Zona Nyaman?
Sebetulnya, saya baru mulai mengenal rangkaian kata tersebut saat pertama kali merantau di tahun 2006. Terbiasa dengan hidup yang serba "ada" saat bersama keluarga, seketika berubah saat itu. Tak ada orang tua, tak ada sanak famili, hanya saya seorang. Simply no more comfort zone. Itulah masa transisi dalam hidup saya.
Kondisi tidak nyaman ini membuat saya mau tak mau harus terus "bergerak". Persis seperti filosofi orang belajar bersepeda. Kita harus pandai menjaga ritme antara terus mengayuh pedal, menahan laju, dan menjaga keseimbangan as well.
Bermodal habit yang sudah dibangun orang tua sejak kecil. Berbekal segudang nasihat, petuah, dan sedikit "kiriman" dari orang tua. Tidak lupa kemampuan berkomunikasi dan menjalin relasi dengan orang lain. Perpaduan semua itu, membuat saya berani memulai babak baru dalam hidup.
Petualangan itu saya mulai dengan menata ulang aktivitas keseharian. Hal ini tercermin, salah satunya, dengan mencari tempat tinggal (kost) yang dekat dengan tempat ibadah. Kost yang dekat dengan tempat ibadah merupakan tempat yang istimewa. Minimal kita selalu diingatkan untuk sholat wajib 5 waktu. Makin sering berjamaah, makin sering bertemu orang-orang yang istimewa. Terutama karena merawat solat berjamaah.
Selanjutnya membangun "jaringan". Keterampilan untuk membina relasi membuat "lingkaran" saya makin luas. Demi memuluskan pencapaian kesuksesan, saya fokus mengelilingi diri dengan orang-orang yang sejalan dengan tujuan saya. Lingkaran itu saya bangun mulai dari teman-teman satu kampung di rantau, kakak-kakak satu kos, dan tentu saja teman-teman satu kampus. Seiring berjalannya waktu, keikusertaan di beberapa organisasi kemahasiswaan juga menambah luas jaringan yang saya miliki.
Berada di tengah-tengah jaringan yang kondusif, membuat saya seperti berada di sumber energi yang tidak ada habisnya. Setiap interaksi yang terjadi di dalamnya tak lain adalah proses saling menginspirasi dan saling menguatkan. Hingga kecil kemungkinan saya terjebak dalam kubangan "kegalauan" yang berlarut-larut.
Slow but sure, jaringan ini membawa saya ke dalam sebuah zona nyaman yang baru. Sama halnya dengan sebagian besar teman saya yang merantau. Kita sama-sama keluar dari zona nyaman pada awalnya. Kemudian dengan proses adaptasi yang tidak mudah, ada yang berhasil menemukan zona nyaman yaang baru, ada pula yang gagal membangun zona nyamannya. Karena yang diperlukan bukan hanya keberanian untuk keluar dadi zona nyaman. Tapi kemampuan untuk membuat zona nyaman baru.
Pada akhirnya, bukan "keluar dari zona nyaman"-lah yang menjadi tujuan akhir. Namun kegigihan untuk terus berjuang "memperluas zona nyaman"-lah yang akan membawa kita berprestasi dalam level yang lebih tinggi lagi.
Keep Learning, Keep Growing!!
Sabtu, 02 Januari 2016
Pria Bule Berkaos Mettalica Itu...
Jumat 1 Januari 2016.
Hari ini saya ada janji dengan seorang teman lama. Seusai sholat jumat, saya meluncur dari masjid manarul ilmi ITS menuju sebuah minimarket di depan kampus UPN Surabaya. Saya hubungi teman tsb dan menunggu di dalam mobil.
Saat sedang menunggu di mobil, saya melihat dari kejauhan seorang pria bule berkaos hitam sedang asyik minum di dalam kedai minimarket. Pria tsb tak terlalu jelas dari luar.
Saya sedang membuka HP ketika istri saya kemudian bergumam "Wah bulenya pake kaos Mettalica tapi celananya nyunnah (diatas mata kaki)".Saya baru benar-benar tertarik (kepo) utk lihat ke arah si bule ketika istri saya kembali bergumam. "Wah istrinya (si bule) pake jilbab syari' (jilbab lebar).
Kali ini saya benar2 terkejut. Awalnya tak ada yg istimewa dari si bule. Typical bule seperti boss saya dulu. Berambut pirang. Berbadan tinggi. Hobi memakai kaos rock (Mettallica).
Saya dan istri benar2 kaget (sekaligus kagum). Kami melihat dia keluar dari minimarket bersama istrinya (dari wajahnya, org Indonesia) dengan busana Islami (bahkan mgkn lbh Islami dibanding kami). Dengan beberapa bekas tatto yg masih terlihat di tangannya, besar kemungkinan si bule adalah seorang mualaf.
Alhamdulillah, Allah ingatkan saya satu pelajaran yg sangat berharga melalui si bule. Ini pelajaran tentang bagaimana penampilan luar membangun image.
Sebagian org mengatakan "dont judge the book from its cover". Saya sepakat bahwa seringkali kita tidak bisa menilai semua hal ttg seseorang hanya dari penampilan luar. Awalnya, hanya karena si bule memakai berkaos metallica, kami mengira beliau cuma bule biasa.
Di sisi lain, kita tidak bisa memungkiri bahwa persepsi dibangun dalam 20 detik pertama (atau bahkan kurang). Inilah letak challenge kita.
Saya setuju bahwa akhlak, aqidah, dan nilai ibadah kita, tak akan pernah dapat dinilai hanya dari pakaian. Tapi, dari cara kita berpakaian, kita bisa mensyiarkan keislaman kita.
Selain mengikuti sunnah rasul, berpakaian yg Islami adalah upaya kita yang plg mudah untuk memasyaratkan dan membangun image yang baik tentang Islam, sekaligus menepis image buruk yang selama ini banyak mengarah ke Islam.
Last but not least. Bila benar beliau adalah seorang mualaf, teriring doa dari saya supaya beliau beserta keluarganya terus istiqomah dalam memegang ajaran Islam.
Dan untuk kita yang lebih dulu memeluk dien ini, terucap doa supaya kita tak kalah semangat dari saudara kita yg mualaf dalam meningkatkan iman dan mengikuti sunnah2 Rasul.
Keep Learning, Keep Growing!!