Kamis, 28 Januari 2016

Cerita Pasca Menikah #13 : I am the lucky one

Saat kecil, saya bukan tipikal anak yang bisa fokus dan duduk diam. Tak ada hari yang tak dilewati Mama saya kecuali rasa was was dan cemas atas tingkah saya.

Beliau tanpa lelah terus mencari cara supaya saya bisa diam. Setidaknya diam untuk beberapa saat. Pencarian terus dilakukan hingga ditemukanlah minat saya saat itu.

Saat kecil saya suka melukis, tapi tak pernah benar-benar bisa melukis. Saya lebih banyak membuat coretan abstrak di dinding ketimbang menggambar bentuk yang baik dan benar.

Oleh karenanya saya dimasukkan ke dalam sanggar melukis, supaya bisa melukis dengan benar.

Selama hampir 4 tahun menimba ilmu di sanggar melukis, saya belajar banyak hal. Tapi semua itu masih tak cukup membuat saya benar-benar bisa melukis.

Selama periode itu pula saya berulang kali mengikuti perlombaan melukis dan beberapa kali terpilih menjadi yang terbaik. Pencapaian inipun tidak membuat saya serta merta menjadi seorang pelukis yang benar. Prestasi dalam kejuaraan melukis tidak lebih karena selera juri yang "kebetulan" pas dan cocok dengan hasil karya kita. Saya menyebutnya keberuntungan.

Setelah berhenti dari sanggar lukis, aktivitas melukis pun jauh berkurang. Hanya momen momen tertentu saja saya akan melukis. Meski demikian, kecintaan saya akan seni lukis belumlah pudar. Beberapa kali saya datang dan menikmati pameran lukisan. Saat itulah saya seolah-olah merasakan kembali sebuah rasa yang telah lama hilang.

Berulang kali saya mengunjungi pameran lukisan, berulang kali pula saya ingin kembali melukis. Karena melukis bagi saya bukan hanya melulu bercerita tentang sebuah karya seni.

Tapi lebih dari itu, aktivitas melukis membuat saya bisa menghadirkan memori dan kenangan manis tentang kasih sayang seorang Mama  yang ingin anaknya bisa duduk diam dan menghasilkan karya.

Hingga akhirnya terbersitlah harapan untuk memiliki partner hidup yang memiliki minat dan ketertarikan yang sama, melukis. Seseorang yang saya harapkan memiliki kemampuan melukis dan berkarya jauh lebih baik dari saya. Karena saya ingin partner yang bisa membimbing anak saya (kemungkinan sama seperti saya, tidak bisa diam) untuk melukis dengan baik dan benar.

Alhamdulillah, Allah menganugerahkan seorang istri yang jauh melebihi ekspektasi saya. Bukan hanya bisa melukis, tapi juga lulus dari perguruan tinggi dengan jurusan yang berhubungan dengan seni.

**
Selang beberapa waktu, kami pun diberi amanah seorang bayi laki laki. Kini si bayi tanpa terasa telah 22 bulan menemani hari hari kami. Tingkah polahnya tak jauh beda dengan saya. Tak bisa diam dan selalu membuat was-was.

Hingga suatu ketika, kami sedang beres-beres rumah saat saya menemukan seperangkat alat lukis yang telah lama tersimpan dan lama tidak digunakan. Ini adalah alat lukis yang saya simpan sejak SMA. Sementara istri saya pun menyimpan alat yang sama sejak kuliah.

Saat itu juga muncul ide dari kami untuk mengenalkan alat lukis tersebut kepada sang anak. Bisa ditebak, dia sangat menyukainya. Seketika duduk diam di depan kanvas, diambilnya palet dan dituangkannya cat acrylic. Tangannya kemudian mulai beraksi meraih kuas.

Setelah dioleskan di pallet yang berisi cat, digoreskanlah kuas tersebut ke kanvas. Tak ada kesan ragu-ragu, hanya keberanianlah yang terlihat di tiap goresannya. Itulah pertama kalinya momen-momen kami mendampingi anak sekaligus melukis bersama di atas kanvas.

Saya mengenal kuas dan kanvas di usia 15 tahun. Istri saya pun mungkin tak jauh beda. Sementara anak saya mengenalnya di usianya yang belum genap 2 tahun.

Yah, kesamaan hobi dan pandangan akan melukis, membuat kami berdua begitu mudah mengenalkannya pada anak. Semoga dia tumbuh jauh lebih baik dari kami berdua.

How lucky I am to have a partner like you my dear.


Keep Learning, Keep Growing!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar