"Keluar dari Zona Nyaman" quote yg sudah tidak asing bagi kita. Di berbagai kesempatan, mulai dari pelatihan motivasi, artikel di media masaa, training entrepreuner, hingga buku-buku pengembangan diri, kalimat tersebut seperti mantra andalan yang menyihir banyak orang.
Sebetulnya, saya baru mulai mengenal rangkaian kata tersebut saat pertama kali merantau di tahun 2006. Terbiasa dengan hidup yang serba "ada" saat bersama keluarga, seketika berubah saat itu. Tak ada orang tua, tak ada sanak famili, hanya saya seorang. Simply no more comfort zone. Itulah masa transisi dalam hidup saya.
Kondisi tidak nyaman ini membuat saya mau tak mau harus terus "bergerak". Persis seperti filosofi orang belajar bersepeda. Kita harus pandai menjaga ritme antara terus mengayuh pedal, menahan laju, dan menjaga keseimbangan as well.
Bermodal habit yang sudah dibangun orang tua sejak kecil. Berbekal segudang nasihat, petuah, dan sedikit "kiriman" dari orang tua. Tidak lupa kemampuan berkomunikasi dan menjalin relasi dengan orang lain. Perpaduan semua itu, membuat saya berani memulai babak baru dalam hidup.
Petualangan itu saya mulai dengan menata ulang aktivitas keseharian. Hal ini tercermin, salah satunya, dengan mencari tempat tinggal (kost) yang dekat dengan tempat ibadah. Kost yang dekat dengan tempat ibadah merupakan tempat yang istimewa. Minimal kita selalu diingatkan untuk sholat wajib 5 waktu. Makin sering berjamaah, makin sering bertemu orang-orang yang istimewa. Terutama karena merawat solat berjamaah.
Selanjutnya membangun "jaringan". Keterampilan untuk membina relasi membuat "lingkaran" saya makin luas. Demi memuluskan pencapaian kesuksesan, saya fokus mengelilingi diri dengan orang-orang yang sejalan dengan tujuan saya. Lingkaran itu saya bangun mulai dari teman-teman satu kampung di rantau, kakak-kakak satu kos, dan tentu saja teman-teman satu kampus. Seiring berjalannya waktu, keikusertaan di beberapa organisasi kemahasiswaan juga menambah luas jaringan yang saya miliki.
Berada di tengah-tengah jaringan yang kondusif, membuat saya seperti berada di sumber energi yang tidak ada habisnya. Setiap interaksi yang terjadi di dalamnya tak lain adalah proses saling menginspirasi dan saling menguatkan. Hingga kecil kemungkinan saya terjebak dalam kubangan "kegalauan" yang berlarut-larut.
Slow but sure, jaringan ini membawa saya ke dalam sebuah zona nyaman yang baru. Sama halnya dengan sebagian besar teman saya yang merantau. Kita sama-sama keluar dari zona nyaman pada awalnya. Kemudian dengan proses adaptasi yang tidak mudah, ada yang berhasil menemukan zona nyaman yaang baru, ada pula yang gagal membangun zona nyamannya. Karena yang diperlukan bukan hanya keberanian untuk keluar dadi zona nyaman. Tapi kemampuan untuk membuat zona nyaman baru.
Pada akhirnya, bukan "keluar dari zona nyaman"-lah yang menjadi tujuan akhir. Namun kegigihan untuk terus berjuang "memperluas zona nyaman"-lah yang akan membawa kita berprestasi dalam level yang lebih tinggi lagi.
Sebetulnya, saya baru mulai mengenal rangkaian kata tersebut saat pertama kali merantau di tahun 2006. Terbiasa dengan hidup yang serba "ada" saat bersama keluarga, seketika berubah saat itu. Tak ada orang tua, tak ada sanak famili, hanya saya seorang. Simply no more comfort zone. Itulah masa transisi dalam hidup saya.
Kondisi tidak nyaman ini membuat saya mau tak mau harus terus "bergerak". Persis seperti filosofi orang belajar bersepeda. Kita harus pandai menjaga ritme antara terus mengayuh pedal, menahan laju, dan menjaga keseimbangan as well.
Bermodal habit yang sudah dibangun orang tua sejak kecil. Berbekal segudang nasihat, petuah, dan sedikit "kiriman" dari orang tua. Tidak lupa kemampuan berkomunikasi dan menjalin relasi dengan orang lain. Perpaduan semua itu, membuat saya berani memulai babak baru dalam hidup.
Petualangan itu saya mulai dengan menata ulang aktivitas keseharian. Hal ini tercermin, salah satunya, dengan mencari tempat tinggal (kost) yang dekat dengan tempat ibadah. Kost yang dekat dengan tempat ibadah merupakan tempat yang istimewa. Minimal kita selalu diingatkan untuk sholat wajib 5 waktu. Makin sering berjamaah, makin sering bertemu orang-orang yang istimewa. Terutama karena merawat solat berjamaah.
Selanjutnya membangun "jaringan". Keterampilan untuk membina relasi membuat "lingkaran" saya makin luas. Demi memuluskan pencapaian kesuksesan, saya fokus mengelilingi diri dengan orang-orang yang sejalan dengan tujuan saya. Lingkaran itu saya bangun mulai dari teman-teman satu kampung di rantau, kakak-kakak satu kos, dan tentu saja teman-teman satu kampus. Seiring berjalannya waktu, keikusertaan di beberapa organisasi kemahasiswaan juga menambah luas jaringan yang saya miliki.
Berada di tengah-tengah jaringan yang kondusif, membuat saya seperti berada di sumber energi yang tidak ada habisnya. Setiap interaksi yang terjadi di dalamnya tak lain adalah proses saling menginspirasi dan saling menguatkan. Hingga kecil kemungkinan saya terjebak dalam kubangan "kegalauan" yang berlarut-larut.
Slow but sure, jaringan ini membawa saya ke dalam sebuah zona nyaman yang baru. Sama halnya dengan sebagian besar teman saya yang merantau. Kita sama-sama keluar dari zona nyaman pada awalnya. Kemudian dengan proses adaptasi yang tidak mudah, ada yang berhasil menemukan zona nyaman yaang baru, ada pula yang gagal membangun zona nyamannya. Karena yang diperlukan bukan hanya keberanian untuk keluar dadi zona nyaman. Tapi kemampuan untuk membuat zona nyaman baru.
Pada akhirnya, bukan "keluar dari zona nyaman"-lah yang menjadi tujuan akhir. Namun kegigihan untuk terus berjuang "memperluas zona nyaman"-lah yang akan membawa kita berprestasi dalam level yang lebih tinggi lagi.
Bersambung
Keep Learning, Keep Growing!!
Keep Learning, Keep Growing!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar