Masih teringat jelas saat terjadi gelombang unjuk rasa menolak kenaikan BBM. Berbagai elemen masyarakat menunjukkan aspirasinya dalam berbagai cara. Ada yang aksi turun ke jalan, pemblokiran jalan, dan (saya yakin ini yang paling banyak) berkomentar lewat social media, entah Twitter, Facebook, dsb. Sebagian besar menolak, meski beberapa ada pula yang mendukung.
Beberapa orang mendukung didasari oleh disparitas harga antara minyak dalam negeri dengan minyak luar negeri. Selama ini pemerintah memesan BBM ke Pertamina. Pertamina membeli minyak ke pemerintah sejumlah 237,615 juta barel, dan dijual dalam bentuk premium dengan harga jual 4500 IDR per liter. Padahal biaya produksinya lebih dari itu (Pertamina merugi). Oleh karenanya Pemerintah memberikan subsidi kepada masyarakat. Mengingat tingkat konsumsi yang sangat tinggi 396,226 juta barel dan melebihi kapasitas produksi minyak dalam negeri (237,615 juta barel), akhirnya Pertamina mengimpor minyak dari luar negeri sebanyak 158,611 juta barel. Sehingga pemerintah pun kembali harus memberikan subsidi kepada Pertamina.
Pembebanan inilah yang dianggap mengancam APBN, sehingga diusulkan supaya subsidi dikurangi atau dengan kata lain harga BBM dinaikkan. Namun menaikkan harga BBM bukan tidak tanpa resiko. Kenaikkan harga BBM tentu akan diikuti oleh kenaikkan harga berang kebutuhan pokok. Kenaikan inilah yang kemudian dinilai akan menyengsarakan rakyat kecil.
Belum lagi perbedaan pandangan dari sebagian pihak yang menyatakan bahwa sebenarnya Pemerintah tidak kekurangan uang justru kelebihan uang sebesar 97 triliyun yang berasal dari selisih antara uang yang dibayarkan Pertamina (untuk membeli minyak ke Pemerintah sejumlah 237,615 juta barel) dengan subsidi yang dibayarkan oleh Pemerintah.
Di tengah kemelut dua pandangan yang berseberangan ini, saya melihat ada sebuah fakta yang tak terbantahkan, tingkat konsumsi BBM kita sangatlah tinggi. Hal inilah yang menurut saya memberatkan Pemerintah. Begitu banyak dana digelontorkan untuk mensubsidi para pengguna kendaraan bermotor. Saya hanya mengajak untuk bersama-sama mengevaluasi gaya hidup kita. Bila memang kita masih bisa bepergian dengan menggunakan kendaraan umum atau bersepeda, mengapa harus menggunakan kendaraan pribadi. Saya yakin bila kita bisa mengurangi sampai 15 persen jumlah konsumsi BBM untuk kendaraan pribadi kita, maka impact yang dihasilkan akan sangat terasa. Dana yang yang disediakan untuk subsidi BBM bisa dialihkan untuk pembangunan infrastruktur dan biaya pembangunan lainnya.
Kemudian, terkait dengan kenaikan BBM, marilah kita sikapi dengan peran masing-masing. Bila memang berani dan yakin untuk melakukan aksi turun ke jalan, maka lakukanlah! Saya hanya mengingatkan untuk sama-sama menjaga diri selama aksi, jangan smapai terpancing untuk melakukan tindakan anarkis. Aksi turun ke jalan yang mengarah ke tindakan anarkis justru akan mencederai aksi itu sendiri.
Terakhir saya berpesan kepada mahasiswa sebagai agent of change, untuk tidak sekedar turun ke jalan. Namun juga bekerja keraslah untuk menemukan solusi konkret terkait permasalahan ini. Kita dikaruniani begitu banyak kelebihan dan kesempatan. Berlomba-lombalah bereksperimen di bidang energi, baik itu tentang penggunaan energi alternatif, konversi energi terbarukan atau bahkan alat penghemat energi.
Percayalah, langkah kecil yang dilakukan bersama-sama hari ini akan menjadi lompatan yang sangat panjang di kemudian hari.
Keep Learning, Keep Growing!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar