Saat saya pertama kali ingin bepergian ke luar negeri, ada banyak bayangan indah di kepala saya. Bertemu orang-orang yang benar asing, budaya setempat yang berbeda, mencoba makanan khas daerah setempat (dengan catatan halal), menikmati keindahan alam yang menakjubkan dan lain sebagainya. Namun, setelah hampir 4 minggu tinggal di negeri orang, tidak semua yang saya alami seindah seperti apa yang bayangkan.
Saya tidak berada dalam konteks menyesali kepergian ini, justru sebaliknya. Rasa syukur saya tidak henti-hentinya mengalir dari bibir saya. Negara asing pertama yang saya tinggali memiliki cuaca, kultur, dan kondisi yang tidak jauh berbeda dengan negara saya. Meski dalam beberapa hal, terutama fasilitas infrastruktur, tidak lebih baik dari negara saya. Namun tanpa saya sadari hal ini justru memudahkan saya untuk beradaptasi dengan lingkungan setempat.
Meski saya cukup kesulitan mendapatkan makanan halal, namun saya tetap harus banyak bersyukur. Bagaimana tidak, meski saya tinggal di daerah yang lebih terpencil daripada kota kelahiran saya (selama di Vietnam saya tinggal di Kien Luong, dekat perbatasan Kamboja- Vietnam), namun fasilitas akomodasi yang saya dapatkan lebih dari cukup untuk ukuran saya. Akses internet (meski kadang mati-hidup), fasilitas layanan laundry, hotel yang nyaman, dan transportasi yang siap mengantar kemanapun kami pergi. Terlebih lagi semua cost terkait perjalanan ini totally covered by perusahaan.
Selanjutnya, meski aktivitas yang saya jalani cenderung monoton karena selalu berulang dari hari ke hari. Bahkan untuk menu makanan yang kita santap pun selalu berulang (mengingat keterbatasan pilihan makanan halal) hingga berat badan saya menurun. Namun saya harus bersyukur karena saya punya banyak waktu untuk lebih berkonsentrasi beribadah selama bulan Ramadhan. Karena saya berangkat kerja jam 6.30 dan pulang jam 16.30. Sedang hiburan di daerah ini sangat terbatas, bahkan saya katakan tidak ada. Bahkan saya bisa menamatkan satu buah buku selama 1 minggu. Dan sekarang saya sedang menghabiskan satu buah buku lagi.
Kemudian, meski sebagian besar orang disini kesulitan berbahasa Inggris. Saya justru belajar makna sebenarnya tentang kemampuan berkomunikasi dan berbahasa. Karena bahasa Inggris disini belum cukup familiar, saya terbiasa menggunakan bahasa tubuh atau Tarzan di beberapa hari awal. Hingga kemudian di hari-hari berikutnya kami banyak bertemu rekan-rekan sesama karyawan Holcim yang fasih berbahasa Inggris. Saya pun bisa dengan mudah berkomunikasi dengan mereka.
Kemampuan berbahasa ternyata bukan hanya terletak pada seberapa excellence kita menguasai bahasa, namun justru bagaimana memanfaatkannya untuk menyampaikan ide dan gagasan kita. Hingga lawan bicara kita bisa menerima dan merespon dengan baik apa-apa yang telah kita sampaikan.
Sejujurnya tingkat kepercayaan diri saya naik berkali lipat meski kemampuan bahasa Inggris saya sangat jauh dari kesempurnaan. Karena kembali lagi pada uraian saya bahwa yang terpenting adalah ide yang kita sampaikan dapat dimengerti dan umpan balik yang kita harapkan. Selama di sini cukup nyaman berkomunikasi dengan warga negara Jerman, Inggris, dan tentu saja Vietnam.
Pada akhirnya, meski saya telah berhasil meraih sebagian dari impian saya, yaitu bepergian dan tinggal di luar negeri gratis serta menaikkan level diri dan pergaulan hingga ke tingkat regional. Namun rasa rindu akan suasana kampung halaman masih sangat sulit diredam bila harus tinggal selama 4 minggu di negeri orang (saya harus salut kepada teman dan kakak senior yang menempuh pendidikan di luar negeri selama bertahun-tahun).
Kerinduan ini tidak terkait karena segala keterbatasan yang saya dapati selama ini. Bahkan bila saya harus tinggal di Eropa sekalipun yang penuh dengan fasilitas hidup yang lebih baik, saya tidak yakin bahwa rasa rindu akan masakan rumah, momentum canda-tawa dengan adik dan keluarga, bisa begitu saja dibendung. Lebih-lebih bila kelak saya sudah berkeluarga. Karena kemana pun kita pergi rasa rindu akan kampung halaman akan selalu muncul.
Meski, menurut saya, bepergian ke luar negeri selalu menyenangkan. Namun melakukan perjalanan dinas selama 4 minggu tidak akan ada apa-apanya bila dibandingkan dengan liburan meski hanya 4 hari. Karena bekerja sangat berbeda dengan berlibur. Saya hanya memindahkan load pekerjaan dari satu tempat ke tempat lain.
Oleh karenanya kemanapun kita pergi, make sure kita selalu punya cara untuk membuat suasana hati riang dan gembira hingga kita bisa menikmati detik demi detik waktu yang kita lalui dan menangkap banyak inspirasi serta pengalaman berharga.
Alhamdulillah, 6 hari lagi saya pulang ke tanah air. Saya cium tangan ibu dan adik-adik saya.
Makanan rumah sudah menanti :)
Keep Learning, Keep Growing!!
Saya tidak berada dalam konteks menyesali kepergian ini, justru sebaliknya. Rasa syukur saya tidak henti-hentinya mengalir dari bibir saya. Negara asing pertama yang saya tinggali memiliki cuaca, kultur, dan kondisi yang tidak jauh berbeda dengan negara saya. Meski dalam beberapa hal, terutama fasilitas infrastruktur, tidak lebih baik dari negara saya. Namun tanpa saya sadari hal ini justru memudahkan saya untuk beradaptasi dengan lingkungan setempat.
Meski saya cukup kesulitan mendapatkan makanan halal, namun saya tetap harus banyak bersyukur. Bagaimana tidak, meski saya tinggal di daerah yang lebih terpencil daripada kota kelahiran saya (selama di Vietnam saya tinggal di Kien Luong, dekat perbatasan Kamboja- Vietnam), namun fasilitas akomodasi yang saya dapatkan lebih dari cukup untuk ukuran saya. Akses internet (meski kadang mati-hidup), fasilitas layanan laundry, hotel yang nyaman, dan transportasi yang siap mengantar kemanapun kami pergi. Terlebih lagi semua cost terkait perjalanan ini totally covered by perusahaan.
Selanjutnya, meski aktivitas yang saya jalani cenderung monoton karena selalu berulang dari hari ke hari. Bahkan untuk menu makanan yang kita santap pun selalu berulang (mengingat keterbatasan pilihan makanan halal) hingga berat badan saya menurun. Namun saya harus bersyukur karena saya punya banyak waktu untuk lebih berkonsentrasi beribadah selama bulan Ramadhan. Karena saya berangkat kerja jam 6.30 dan pulang jam 16.30. Sedang hiburan di daerah ini sangat terbatas, bahkan saya katakan tidak ada. Bahkan saya bisa menamatkan satu buah buku selama 1 minggu. Dan sekarang saya sedang menghabiskan satu buah buku lagi.
Kemudian, meski sebagian besar orang disini kesulitan berbahasa Inggris. Saya justru belajar makna sebenarnya tentang kemampuan berkomunikasi dan berbahasa. Karena bahasa Inggris disini belum cukup familiar, saya terbiasa menggunakan bahasa tubuh atau Tarzan di beberapa hari awal. Hingga kemudian di hari-hari berikutnya kami banyak bertemu rekan-rekan sesama karyawan Holcim yang fasih berbahasa Inggris. Saya pun bisa dengan mudah berkomunikasi dengan mereka.
Kemampuan berbahasa ternyata bukan hanya terletak pada seberapa excellence kita menguasai bahasa, namun justru bagaimana memanfaatkannya untuk menyampaikan ide dan gagasan kita. Hingga lawan bicara kita bisa menerima dan merespon dengan baik apa-apa yang telah kita sampaikan.
Sejujurnya tingkat kepercayaan diri saya naik berkali lipat meski kemampuan bahasa Inggris saya sangat jauh dari kesempurnaan. Karena kembali lagi pada uraian saya bahwa yang terpenting adalah ide yang kita sampaikan dapat dimengerti dan umpan balik yang kita harapkan. Selama di sini cukup nyaman berkomunikasi dengan warga negara Jerman, Inggris, dan tentu saja Vietnam.
Pada akhirnya, meski saya telah berhasil meraih sebagian dari impian saya, yaitu bepergian dan tinggal di luar negeri gratis serta menaikkan level diri dan pergaulan hingga ke tingkat regional. Namun rasa rindu akan suasana kampung halaman masih sangat sulit diredam bila harus tinggal selama 4 minggu di negeri orang (saya harus salut kepada teman dan kakak senior yang menempuh pendidikan di luar negeri selama bertahun-tahun).
Kerinduan ini tidak terkait karena segala keterbatasan yang saya dapati selama ini. Bahkan bila saya harus tinggal di Eropa sekalipun yang penuh dengan fasilitas hidup yang lebih baik, saya tidak yakin bahwa rasa rindu akan masakan rumah, momentum canda-tawa dengan adik dan keluarga, bisa begitu saja dibendung. Lebih-lebih bila kelak saya sudah berkeluarga. Karena kemana pun kita pergi rasa rindu akan kampung halaman akan selalu muncul.
Meski, menurut saya, bepergian ke luar negeri selalu menyenangkan. Namun melakukan perjalanan dinas selama 4 minggu tidak akan ada apa-apanya bila dibandingkan dengan liburan meski hanya 4 hari. Karena bekerja sangat berbeda dengan berlibur. Saya hanya memindahkan load pekerjaan dari satu tempat ke tempat lain.
Oleh karenanya kemanapun kita pergi, make sure kita selalu punya cara untuk membuat suasana hati riang dan gembira hingga kita bisa menikmati detik demi detik waktu yang kita lalui dan menangkap banyak inspirasi serta pengalaman berharga.
Alhamdulillah, 6 hari lagi saya pulang ke tanah air. Saya cium tangan ibu dan adik-adik saya.
Makanan rumah sudah menanti :)
Tempe Mendoan khas Banyumas Sumber : mia-wulan.blogspot.com |
Keep Learning, Keep Growing!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar