Menjelang detik-detik pernikahan, tak sedikit orang yang dihantui
keraguan dan ketakutan. Seorang sahabat saya hampir saja melarikan diri saat
H-3 sebelum akad. Bahkan saya pun pernah mendengar berita tentang kaburnya
seorang pemuda justru saat hari-H akad nikah. Begitu halnya dengan saya.
Beberapa hari sebelum pengucapan ikrar janji suci, rasa cemas, ragu, takut, dan
senang menghinggapi saya sekaligus. Saya hampir tidak percaya jika status
lajang ini akan segera berakhir.
Salah satu ketakutan “tak berdasar” yang sempat saya rasakan
adalah takut kehilangan ruang privasi. Setelah 24 tahun hidup sendiri dan
bersama keluarga kandung, kini ada seorang muslimah yang akan menemani hidup
saya. Bagaimana saya tidak khawatir, selama ini saya bisa bepergian ke mana pun
saya suka. Ruang privasi itulah yang memberikan saya keleluasan untuk
berekspresi, mencoba hal baru, berpetualang, menjalin pertemanan dengan siapa
saja, dan aneka keleluasaan lainnya.
Semakin hari, ketakutan itu semakin berkembang biak dan menjadi-jadi.
Bermula hanya takut pada satu hal, maka selanjutnya semakin banyak yang
ditakutkan. Bila selama ini hanya memikirkan dan mengurus diri sendiri, maka
sekarang mulai berpikir bagaimana caranya mengurus sebuah keluarga. Tetap saja, dari sekian banyak, yang paling membuat ragu
adalah kenyataan bahwa tidak lama lagi saya akan hidup bersama dengan orang
lain (istri).
Mungkin inilah yang saya sebut sebagai Pre-Wedding Syndrome. Sebuah awkward moment, dimana perasaan aneh
yang muncul tiap kali kita akan memasuki sebuah fase hidup yang berbeda.
**
Berpegang pada semboyan “sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang”, saya pun melangkah mantap menuju lokasi akad nikah. Seusai
para saksi dan ustadz mengucapkan sah, saya seperti merasakan ada beban 19 ton
yang tiba-tiba hilang dari pundak saya.
Akhirnya, saya mulai mengarungi hari demi hari bersama istri saya.
Seperti kebanyakan pasangan muda, di awal pernikahan saya justru merasa sangat
menyesal. Penyesalan yang terasa sangat dalam. Saya menyesal mengapa tidak
menikah dari dulu saja. Rasa penyesalan yang tentunya dibungkus rapi dengan
kebahagiaan yang tidak bisa digantikan oleh kemewahan duniawi.
Awalnya, ketakutan yang sempat hinggap menjelang pernikahan, sama
sekali tidak terpikirkan oleh saya. Karena saat itu saya benar-benar terbius
oleh euphoria lepasnya status lajang.
Namun, beberapa bulan berikutnya saya mulai berpikir ke mana perginya ketakutan
saat pre-wedding syndrome.
Sebelum menikah, saya sempat takut kehilangan ruang untuk
berekspresi, berpetualang dan mencoba hal baru. Nyatanya, setelah menikah saya
memiliki partner yang luar biasa. Berekspresi dan berpetualang bersama istri
ternyata jauh lebih menyenangkan.
Mulai dari berdua bersama menjelajah daerah yang belum
pernah dikunjungi (lihat disini). Berburu sajian kuliner yang belum pernah kita rasakan
sebelumnya. Bersama-sama membersihkan rumah. Berjalan-jalan berdua di toko-toko
atau tenant furniture di mall. Hingga bahu-membahu menyiapkan materi yang akan
dibawakan dalam sebuah pelatihan jurnalistik.
Pada kenyataannya, kehadiran istri sebagai partner mempermudah
kita dalam banyak hal. Kesamaan pandangan dan misi hidup, mempermudah kita
dalam berjuang meraih mimpi. Selain sebagai pengingat saat kita mulai lengah,
dia juga bisa hadir sebagai motivator saat kita kelelahan. Bahkan tidak jarang,
saya serasa memiliki trainer pribadi yang serba bisa. Bisa saling memotivasi semangat, bisa saling mengkoreksi, hingga bisa
menjadi teman curhat
Keberadaannya di rumah, membuat saya serasa sedang berada di EF (English First- sebuah tempat les bahasa Inggris). Saya seperti memiliki kamus berjalan. Karena selalu ada tempat untuk bertanya, mengoreksi spelling, mengingatkan untuk terus belajar bahasa, dan tempat konsultasi saat saya kesulitan dalam membuat report dalam bahasa Inggris. Dan khusus
yang terakhir ini, saya benar-benar beruntung memiliki seorang istri yang lihai
berbahasa asing. Berharap anak saya kelak memiliki 3 bahasa ibu sekaligus,
Jawa, Indonesia, dan Inggris. :)
Selain itu, kehadiran istri
juga membuat saya memiliki pola makan yang teratur. Bukan rahasia lagi bila
kita memasak sendiri, selain lebih lezat, kita juga bisa mengontrol mulai dari
bahan mentah hingga cara memasak yang baik. Hingga semuanya bisa dipastikan
sehat dan higienis. Begitu pula dengan kebutuhan rumah tangga lainnya, semuanya
di-managed begitu rapi. Tidak
berlebihan bila saya seperti seorang artis yang memiliki manajer pribadi.
Maka dari itu, ketakutan sebelum menikah bukanlah hal kecil yang
perlu dibesarkan. Setelah menikah, saya juga semakin efektif dalam
membelanjakan uang. Justru karena sudah berkeluarga, pengeluaran menjadi semakin
fokus dan based on priority.
Semua yang saya rasakan itu telah sukses mematahkan segala ketakutan
dan keraguan yang dulu sempat muncul. Setiap menjelang sore, saya selalu tak
sabar untuk segera pulang dan bertemu istri. Bahkan, sehari saja saya tidak
memeluk dan mencium keningnya, saya seperti benar-benar kehilangan separuh jiwa.
He..he..he
Pada akhirnya, hanya kekuatan tekad dan mental yang membuat kita
tetap yakin dan percaya bahwa semua keraguan ini hanyalah cara Alloh agar kita terus berpikir hingga kita makin mantap dengan jalan yang kita pilih.
Foto ini saya ambil saat berada di dalam bus. Setiap pagi dia mengantar saya dari rumah menuju pick up point. |
Saat kami berdua terbang dari Surabaya ke Bontang. :) |
Bila sudah demikian, keberadaannya di sisi saya seperti Ainun di samping Habibie, Khadijah di samping Nabi Muhammad, Ratna di samping Prof. Daniel M Rosyid, Ifat Farizah di samping M.Hatta, dan Siti Amanah di samping Endi Suwandi. Selalu ada wanita kuat di balik kesuksesan pria hebat!
Keep Learning, Keep Growing!!