Hari-hari awal setelah menikah kami lewati dengan hidup
terpisah. Saya di Tuban dan istri di Surabaya. Satu minggu berikutnya kami
mulai tinggal bersama di sebuah kamar kos sederhana berukuran 3x4 meter
persegi. Sebelum kami berhasil mengontrak sebuah rumah kecil di pinggiran kota
Tuban, kami sempat tinggal di kamar kos tersebut kira kira hampir 3 minggu
lamanya.
Hari-hari selanjutnya, bersama dengan istri, kami mulai membuktikan
betapa menikah mampu membuat pintu rizki yang masih tertutup menjadi mudah
terbuka . Entah bagaimana, kami mulai menempati rumah kontrakan dengan
fasilitas yang mencukupi dan memadai. Meski tidak lengkap, ada perabotan dapur
yang cukup untuk memasak. Pun demikian dengan pemberian/hadiah dari sanak
saudara. Meski tak mewah tapi sangat membantu kami. Serta beberapa barang
inventaris semasa kuliah yang masih berfungsi dengan baik dan bisa kami
manfaatkan hingga kini.
Walaupun tidak banyak, kami memiliki tabungan yang cukup
sebelum menikah. Dan barang "mewah" pertama yang kami beli bersama
dari uang tersebut adalah "tempat tidur". Seperti kata Yoris
Sebastian, setelah lelah beraktivitas selama seharian, tubuh berhak untuk
beristirahat dengan nyaman. Kami ingin memastikan bahwa di malam hari kami
cukup nyaman dan nyenyak dalam beristirahat, hingga kami cukup fit dan percaya
diri untuk kembali beraktivitas keesokan harinya.
Bulan selanjutnya, barulah kami bisa membeli mesin cuci.
Bukan tanpa sebab bila kami memilih mesin cuci sebagai incaran selanjutnya
setelah tempat tidur. Sebelum menikah, kami bertekad untuk terus berkarya meski
sudah menikah. Saya ingin memastikan bahwa kami (terutama istri saya) memiliki
waktu dan kesempatan yang cukup untuk mengaktualisasikan diri dan bakatnya. Oleh
karenanya, saya ingin istri saya tidak terlalu terbebani dengan aktivitas rumah
tangga yang kasar atau tidak membutuhkan olah pikir yang rumit. For that reason, sebisa mungkin
kami meminimalisir waktu yang dialokasikan untuk aktivitas tersebut.
To be honest, kami banyak terbantu setelah memiliki
mesin cuci. Kami bisa menulis atau mengerjakan pekerjaan lainnya sembari
mencuci pakaian. Sayangnya belum ada mesin setrika otomatis, sehingga sebanyak
apapun cucian, tetap saja kami harus mengalokasikan waktu khusus untuk
menyetrika. Biasanya ini tugas saya di akhir pekan.
Meski demikian, ada satu barang yang lazim ada di tiap
rumah, namun belum juga kami beli. Tak lain tak bukan adalah televisi. Saya
pernah tinggal di asrama selama 2 tahun tanpa televisi. Bukan berarti selama
itu tidak menonton televisi, tapi mengurangi intensitas menonton televisi. Saya
biasanya pergi ke warung kopi atau kontrakan teman bila ingin menonton acara MotoGP ataupun Barclays Premier League.
Sebagaimana saat akan membeli tempat tidur dan mesin
cuci, kami selalu berpikir panjang sebelum membelanjakan uang. Selain karena
keluarga baru, kami juga ingin memastikan bahwa setiap barang yang dimiliki
memberikan dampak yang positif terhadap kualitas kehidupan kami.
Apa gunanya televisi bila mengurangi quality time diantara kami? Setiap harinya, saya
berangkat meninggalkan rumah kontrakan sekitar pukul 6 pagi. Sekitar 12 jam
kemudian, atau seusai menuaikan sholat Maghrib saya baru tiba di rumah.
Aktivitas ini terus berulang dari hari ke hari. Tidak heran bila kami harus
cermat dalam mengoptimalkan waktu yang tersisa.
Selama ini kami banyak menghabiskan sisa waktu di malam
hari untuk berdiskusi dan bertukar pikiran. Saling bercerita tentang hal-hal
yang telah dilalui dalam satu hari. Saling menginspirasi satu sama lain. Saling
bercanda dan bersenda-gurau. Saling membesar-besarkan dan membanggakan kota kelahiran masing-masing, meski kami tahu sebenarnya tidak banyak yang bisa dibanggakan dari kedua kota tersebut. Terkadang kami juga saling
bertukar informasi tentang buku yang sedang kami baca. Kami pun merencanakan keuangan keluarga bersama. Hingga merencanakan liburan pekanan.
Melihat kondisi seperti itu, apakah lantas kami ketinggalan
berita dan informasi terkini dari dunia luar? Keberadaan smartphone dan personal
computer membuat kami masih bisa mengakses internet. Ini artinya pemenuhan
kebutuhan kami akan informasi dan berita masih bisa di-substitusi oleh
keberadaan dua gadget tersebut.
Namun demikian, kami juga bukan pasangan yang kaku terhadap
perkembangan zaman. Kami selalu mengevaluasi setiap keputusan yang kami ambil
bersama. Bagi saya pribadi, keberadaan televisi tidak berpengaruh banyak. Toh saya
pernah hidup 2 tahun tanpa televisi. Namun berbeda dengan istri saya. Selama
seharian beraktivitas di rumah, ada kalanya dilanda rasa bosan. Meski, saya yakin tidak akan
menonton televisi sepanjang hari, kehadiran televisi kadang kala bisa
membantunya untuk mengusir kesepian.
Seandainya kelak kami pun “menyerah” juga dan akhirnya
membelanjakan uang untuk membeli televisi. Kami harus memiliki rule yang jelas meski hanya untuk menontonnya.
Jangan sampai kehadiran televisi membuat kami terlena, kehilangan quality time , dan tidak fokus dalam berkarya.
Apalagi bila kelak anak kami lahir, jangan sampai mereka
kecanduan terhadap televisi. Lebih-lebih bila sampai meninggalkan waktu sholat
dan belajar hanya untuk menikmati acara yang kurang mendidik.
Meski demikian, sebelum terlalu jauh membahas bagaimana
kami akan me-manage dalam
memanfaatkan televisi, terlebih dulu kami harus menjawab pertanyaan yang satu
ini.
"Sampai kapan kami bisa bertahan (tanpa televisi)?"
Keep Learning, Keep Growing!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar