Selasa, 09 April 2013

Cerita Pasca Menikah #2 (Sampai kapan kami bisa bertahan?)



Hari-hari awal setelah menikah kami lewati dengan hidup terpisah. Saya di Tuban dan istri di Surabaya. Satu minggu berikutnya kami mulai tinggal bersama di sebuah kamar kos sederhana berukuran 3x4 meter persegi. Sebelum kami berhasil mengontrak sebuah rumah kecil di pinggiran kota Tuban, kami sempat tinggal di kamar kos tersebut kira kira hampir 3 minggu lamanya.

Hari-hari selanjutnya, bersama dengan istri, kami mulai membuktikan betapa menikah mampu membuat pintu rizki yang masih tertutup menjadi mudah terbuka . Entah bagaimana, kami mulai menempati rumah kontrakan dengan fasilitas yang mencukupi dan memadai. Meski tidak lengkap, ada perabotan dapur yang cukup untuk memasak. Pun demikian dengan pemberian/hadiah dari sanak saudara. Meski tak mewah tapi sangat membantu kami. Serta beberapa barang inventaris semasa kuliah yang masih berfungsi dengan baik dan bisa kami manfaatkan hingga kini.

Walaupun tidak banyak, kami memiliki tabungan yang cukup sebelum menikah. Dan barang "mewah" pertama yang kami beli bersama dari uang tersebut adalah "tempat tidur". Seperti kata Yoris Sebastian, setelah lelah beraktivitas selama seharian, tubuh berhak untuk beristirahat dengan nyaman. Kami ingin memastikan bahwa di malam hari kami cukup nyaman dan nyenyak dalam beristirahat, hingga kami cukup fit dan percaya diri untuk kembali beraktivitas keesokan harinya.

Bulan selanjutnya, barulah kami bisa membeli mesin cuci. Bukan tanpa sebab bila kami memilih mesin cuci sebagai incaran selanjutnya setelah tempat tidur. Sebelum menikah, kami bertekad untuk terus berkarya meski sudah menikah. Saya ingin memastikan bahwa kami (terutama istri saya) memiliki waktu dan kesempatan yang cukup untuk mengaktualisasikan diri dan bakatnya. Oleh karenanya, saya ingin istri saya tidak terlalu terbebani dengan aktivitas rumah tangga yang kasar atau tidak membutuhkan olah pikir yang rumit. For that reason, sebisa mungkin kami meminimalisir waktu yang dialokasikan untuk aktivitas tersebut.

To be honest, kami banyak terbantu setelah memiliki mesin cuci. Kami bisa menulis atau mengerjakan pekerjaan lainnya sembari mencuci pakaian. Sayangnya belum ada mesin setrika otomatis, sehingga sebanyak apapun cucian, tetap saja kami harus mengalokasikan waktu khusus untuk menyetrika. Biasanya ini tugas saya di akhir pekan.

Meski demikian, ada satu barang yang lazim ada di tiap rumah, namun belum juga kami beli. Tak lain tak bukan adalah televisi. Saya pernah tinggal di asrama selama 2 tahun tanpa televisi. Bukan berarti selama itu tidak menonton televisi, tapi mengurangi intensitas menonton televisi. Saya biasanya pergi ke warung kopi atau kontrakan teman bila ingin menonton acara MotoGP ataupun Barclays Premier League.

Sebagaimana saat akan membeli tempat tidur dan  mesin cuci, kami selalu berpikir panjang sebelum membelanjakan uang. Selain karena keluarga baru, kami juga ingin memastikan bahwa setiap barang yang dimiliki memberikan dampak yang positif terhadap kualitas kehidupan kami. 

Apa gunanya televisi bila mengurangi quality time diantara kami? Setiap harinya, saya berangkat meninggalkan rumah kontrakan sekitar pukul 6 pagi. Sekitar 12 jam kemudian, atau seusai menuaikan sholat Maghrib saya baru tiba di rumah. Aktivitas ini terus berulang dari hari ke hari. Tidak heran bila kami harus cermat dalam mengoptimalkan waktu yang tersisa.

Selama ini kami banyak menghabiskan sisa waktu di malam hari untuk berdiskusi dan bertukar pikiran. Saling bercerita tentang hal-hal yang telah dilalui dalam satu hari. Saling menginspirasi satu sama lain. Saling bercanda dan bersenda-gurau. Saling membesar-besarkan dan membanggakan kota kelahiran masing-masing, meski kami tahu sebenarnya tidak banyak yang bisa dibanggakan dari kedua kota tersebut. Terkadang kami juga saling bertukar informasi tentang buku yang sedang kami baca. Kami pun merencanakan keuangan keluarga bersama. Hingga merencanakan liburan pekanan.

Melihat kondisi seperti itu, apakah lantas kami ketinggalan berita dan informasi terkini dari dunia luar? Keberadaan smartphone dan personal computer membuat kami masih bisa mengakses internet. Ini artinya pemenuhan kebutuhan kami akan informasi dan berita masih bisa di-substitusi oleh keberadaan dua gadget tersebut.

Namun demikian, kami juga bukan pasangan yang kaku terhadap perkembangan zaman. Kami selalu mengevaluasi setiap keputusan yang kami ambil bersama. Bagi saya pribadi, keberadaan televisi tidak berpengaruh banyak. Toh saya pernah hidup 2 tahun tanpa televisi. Namun berbeda dengan istri saya. Selama seharian beraktivitas di rumah, ada kalanya dilanda  rasa bosan. Meski, saya yakin tidak akan menonton televisi sepanjang hari, kehadiran televisi kadang kala bisa membantunya untuk mengusir kesepian.

Seandainya kelak kami pun “menyerah” juga dan akhirnya membelanjakan uang untuk membeli televisi. Kami harus memiliki rule yang jelas meski hanya untuk menontonnya. Jangan sampai kehadiran televisi membuat kami terlena, kehilangan quality time , dan tidak fokus dalam berkarya.

Apalagi bila kelak anak kami lahir, jangan sampai mereka kecanduan terhadap televisi. Lebih-lebih bila sampai meninggalkan waktu sholat dan belajar hanya untuk menikmati acara yang kurang mendidik.

Meski demikian, sebelum terlalu jauh membahas bagaimana kami akan me-manage dalam memanfaatkan televisi, terlebih dulu kami harus menjawab pertanyaan yang satu ini.

"Sampai kapan kami bisa bertahan (tanpa televisi)?"
 
Sumber : website-bizweb.blogspot.com



Keep Learning, Keep Growing!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar