Saat saya akan menuliskan tentang seseorang yang inspiratif bagi saya, tiba-tiba saya teringat tag line dari band kesukaan saya 507 (Sheila On 7) di medio 2002-an, "sederhana dalam hidup, kaya dalam karya".
Kemudian saya coba search di Google tentang tag line tersebut, saya justru menemukan tulisan yang pernah saya publish sendiri di tahun 2010.
Siapa yang sangka, 3 tahun setelahnya saya pun bertemu dengan orang yang sepanjang hidupnya, disadari olehnya atau tidak, telah menjalani tag line seperti di atas.
**
Perawakannya tidak terlalu tinggi namun kekar. Pembawaannya selalu ceria dan murah senyum. Kulitnya gelap terbakar matahari, semakin menguatkan citra pria pekerja keras. Di usianya yang baru 14 tahun, dia sudah ditinggal pergi oleh mendiang ayahnya. Semenjak itu, dengan kondisi keluarga yang pas-pasan, membuatnya mau tidak mau bekerja keras membatu ibunya untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan biaya sekolah adiknya.
Tidak heran bila semasa sekolah dia sudah akrab dengan segala bentuk aktivitas yang mendatangkan uang. Sepulangnya menuntut ilmu di sekolah, dia menjadi buruh tani hingga matahari tergelincir di ufuk barat. Uang yang dia peroleh disisihkan untuk dirinya, sedang sebagian besar sisanya diberikan untuk Ibu tercinta.
Sedang untuk menambah penghasilan, dia selalu meluangkan waktu untuk memancing ikan dan mencari belut. Khusus untuk urusan seperti ini, kemahirannya sangat komplit. Mulai dari teknik jaring, pancing, hingga tangan kosong sekalipun. Dia menceritakan betapa masa mudanya benar-benar dihabiskan untuk berjuang demi kelangsungan hidupnya. Tidak ada waktu yang terbuang sia-sia hanya untuk bermain yang tidak jelas.
Dengan aktivitasnya yang banyak dihabiskan di sawah dan waduk, secara perlahan membuat kekuatan fisiknya berada di atas rata-rata. Oleh karenanya setiap ada event olah raga, entah itu sepak bola maupun bola voli, dia selalu menjadi andalan timnya. Konon semasa sekolah, dia sering menyumbangkan piala untuk sekolah tercinta. Selain itu dia pun menyisihkan sedikit waktunya untuk menuntut ilmu di sebuah perguruan silat yang sangat terkenal di Jawa Timur.
Tidak hanya unggul di olah raga, di tengah aktivitas yang padat untuk mencari tambahan uang, dia sempatkan untuk belajar gitar secara otodidak. Berbekal gitar milik tetangganya, dia terus mencoba sendiri dan berlatih tanpa mengenal lelah. Hingga kemudian dia bisa membentuk grup musik kecil-kecilan bersama teman-temannya.
Sayangnya, keterbatasan biaya membuatnya tidak meneruskan pendidikan ke jenjang SMA/MAN. Seusai lulus MTS (setingkat SMP) dia pergi merantau ke Kalimantan selama 9 bulan. Di sana dia menyambung hidup dengan berjualan bakso. Merasa tidak betah, dia pun pulang kembali ke Jawa. Selang berapa bulan dia kembali berlayar ke Kalimantan. Sayangnya, 6 bulan kemudian dia kembali ke Jawa.
Selepas dari Kalimantan, dia pun merantau ke daerah Cibinong, Bogor. Dia membantu usaha kecil pengecoran logam milik kakaknya. Meski belum berpenghasilan tetap, dia menyatakan lebih senang dengan pekerjaan ini. Dari kakaknya dia belajar bagaimana mengecor logam. Bila sedang mengantar pesanan pelanggan, dia bisa berkeliling Jawa Barat hingga Jawa Timur.
Belakangan dia mencoba peruntungan lain. Atas informasi dan bantuan dari rekan kakaknya, dia bekerja sebagai helper di sebuah pabrik semen di Bogor. Selama 3 tahun pertama penghasilannya hanya berkutat di kisaran 25.000 IDR hingga 30.000 IDR per hari. Baru di tahun ke 4 penghasilannya naik menjadi 85.000 IDR per hari.
Bekerja di pabrik semen membuatnya akrab dengan debu dan kotoran. Namun ini pula yang membuatnya click dengan pekerjaannya. Bisa jadi karena dia teringat dengan masa mudanya saat bermandikan lumpur di sawah. Kerja kerasnya pun membuat dia kini menjadi orang kepercayaan untuk menangani bag filter (masih termasuk dust collector). Rasa ingin tahunya yang besar yang ditunjang dengan semangat kerja yang spartan, telah membuatnya banyak mengetahui seluk beluk tentang bag filter.
***
Hal pertama yang membuat saya terkesan adalah pembawaannya yang tidak pernah mengeluh. Meski harus merelakan waktu bermainnya untuk bekerja di sawah, dia tetap semangat menjalani hidup dan terus membantu Ibu. Bahkan ketika dia harus dibayar dengan upah 25000 IDR per hari, dia masih bisa menikmati tiap liku kehidupan yang dilewatinya. Dia tetap bersemangat bekerja sembari menyerap ilmu yang dia temui di pabrik.
Tumbuh dengan kondisi lingkungan yang serba kekurangan sama sekali tidak mengurangi kepercayaan dirinya. Unggul dan berprestasi di bidang olah raga dan seni merupakan buktinya. Bahkan saat dia hanya berstatus lulusan MTs, dia tidak canggung untuk berbagi ilmu dan berpengalaman dengan orang yang berpendidikan lebih tinggi.
Sejujurnya, dengan kondisi ekonomi keluarga yang lebih baik dan kesempatan mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, membuat saya malu bila melihat etos kerjanya yang penuh semangat. Belum lagi bila merasakan kematangan dan kedewasaannya dalam berpikir serta bertindak. Kali ini saya harus akui pola berpikirnya jauh menembus batas pendidikannya.
Darinya, saya sadar banyak dari kita (bahkan saya sendiri) masih sering menghabiskan waktu untuk aktivitas yang kurang bermanfaat. Bahkan terkadang belum apa-apa sudah berpikir uang dan pertimbangan materi lainnya. Hingga urusan untuk menuntut dan berbagi ilmu pun menjadi tersingkir.
Tidak pernah saya menyangka di balik kesederhanaannya dan sikap sahajanya, tersimpan nilai-nilai kerja keras dan semangat juang yang tinggi. Ya sikap yang sederhana dan sikap apa adanya bukan berarti kita tidak punya apa-apa. Justru sebaliknya, impian yang dibungkus dengan kesederhaan, diusahakan dan dijalani dengan sikap apa adanya membuat kita semakin bersyukur. Rasa syukur yang tulus akan terus melapangkan usaha kita untuk semakin mendekat dengan impian tersebut.
Demikianlah cerita saya tentang Mas Beny. Karenanya tidak berlebihan rasanya bila saya menyebutnya "sederhana dalam hidup, kaya dalam karya".
Keep Learning, Keep Growing!!!
Kemudian saya coba search di Google tentang tag line tersebut, saya justru menemukan tulisan yang pernah saya publish sendiri di tahun 2010.
Siapa yang sangka, 3 tahun setelahnya saya pun bertemu dengan orang yang sepanjang hidupnya, disadari olehnya atau tidak, telah menjalani tag line seperti di atas.
**
Perawakannya tidak terlalu tinggi namun kekar. Pembawaannya selalu ceria dan murah senyum. Kulitnya gelap terbakar matahari, semakin menguatkan citra pria pekerja keras. Di usianya yang baru 14 tahun, dia sudah ditinggal pergi oleh mendiang ayahnya. Semenjak itu, dengan kondisi keluarga yang pas-pasan, membuatnya mau tidak mau bekerja keras membatu ibunya untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan biaya sekolah adiknya.
Tidak heran bila semasa sekolah dia sudah akrab dengan segala bentuk aktivitas yang mendatangkan uang. Sepulangnya menuntut ilmu di sekolah, dia menjadi buruh tani hingga matahari tergelincir di ufuk barat. Uang yang dia peroleh disisihkan untuk dirinya, sedang sebagian besar sisanya diberikan untuk Ibu tercinta.
Sedang untuk menambah penghasilan, dia selalu meluangkan waktu untuk memancing ikan dan mencari belut. Khusus untuk urusan seperti ini, kemahirannya sangat komplit. Mulai dari teknik jaring, pancing, hingga tangan kosong sekalipun. Dia menceritakan betapa masa mudanya benar-benar dihabiskan untuk berjuang demi kelangsungan hidupnya. Tidak ada waktu yang terbuang sia-sia hanya untuk bermain yang tidak jelas.
Dengan aktivitasnya yang banyak dihabiskan di sawah dan waduk, secara perlahan membuat kekuatan fisiknya berada di atas rata-rata. Oleh karenanya setiap ada event olah raga, entah itu sepak bola maupun bola voli, dia selalu menjadi andalan timnya. Konon semasa sekolah, dia sering menyumbangkan piala untuk sekolah tercinta. Selain itu dia pun menyisihkan sedikit waktunya untuk menuntut ilmu di sebuah perguruan silat yang sangat terkenal di Jawa Timur.
Tidak hanya unggul di olah raga, di tengah aktivitas yang padat untuk mencari tambahan uang, dia sempatkan untuk belajar gitar secara otodidak. Berbekal gitar milik tetangganya, dia terus mencoba sendiri dan berlatih tanpa mengenal lelah. Hingga kemudian dia bisa membentuk grup musik kecil-kecilan bersama teman-temannya.
Sayangnya, keterbatasan biaya membuatnya tidak meneruskan pendidikan ke jenjang SMA/MAN. Seusai lulus MTS (setingkat SMP) dia pergi merantau ke Kalimantan selama 9 bulan. Di sana dia menyambung hidup dengan berjualan bakso. Merasa tidak betah, dia pun pulang kembali ke Jawa. Selang berapa bulan dia kembali berlayar ke Kalimantan. Sayangnya, 6 bulan kemudian dia kembali ke Jawa.
Selepas dari Kalimantan, dia pun merantau ke daerah Cibinong, Bogor. Dia membantu usaha kecil pengecoran logam milik kakaknya. Meski belum berpenghasilan tetap, dia menyatakan lebih senang dengan pekerjaan ini. Dari kakaknya dia belajar bagaimana mengecor logam. Bila sedang mengantar pesanan pelanggan, dia bisa berkeliling Jawa Barat hingga Jawa Timur.
Belakangan dia mencoba peruntungan lain. Atas informasi dan bantuan dari rekan kakaknya, dia bekerja sebagai helper di sebuah pabrik semen di Bogor. Selama 3 tahun pertama penghasilannya hanya berkutat di kisaran 25.000 IDR hingga 30.000 IDR per hari. Baru di tahun ke 4 penghasilannya naik menjadi 85.000 IDR per hari.
Bekerja di pabrik semen membuatnya akrab dengan debu dan kotoran. Namun ini pula yang membuatnya click dengan pekerjaannya. Bisa jadi karena dia teringat dengan masa mudanya saat bermandikan lumpur di sawah. Kerja kerasnya pun membuat dia kini menjadi orang kepercayaan untuk menangani bag filter (masih termasuk dust collector). Rasa ingin tahunya yang besar yang ditunjang dengan semangat kerja yang spartan, telah membuatnya banyak mengetahui seluk beluk tentang bag filter.
***
Hal pertama yang membuat saya terkesan adalah pembawaannya yang tidak pernah mengeluh. Meski harus merelakan waktu bermainnya untuk bekerja di sawah, dia tetap semangat menjalani hidup dan terus membantu Ibu. Bahkan ketika dia harus dibayar dengan upah 25000 IDR per hari, dia masih bisa menikmati tiap liku kehidupan yang dilewatinya. Dia tetap bersemangat bekerja sembari menyerap ilmu yang dia temui di pabrik.
Tumbuh dengan kondisi lingkungan yang serba kekurangan sama sekali tidak mengurangi kepercayaan dirinya. Unggul dan berprestasi di bidang olah raga dan seni merupakan buktinya. Bahkan saat dia hanya berstatus lulusan MTs, dia tidak canggung untuk berbagi ilmu dan berpengalaman dengan orang yang berpendidikan lebih tinggi.
Sejujurnya, dengan kondisi ekonomi keluarga yang lebih baik dan kesempatan mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, membuat saya malu bila melihat etos kerjanya yang penuh semangat. Belum lagi bila merasakan kematangan dan kedewasaannya dalam berpikir serta bertindak. Kali ini saya harus akui pola berpikirnya jauh menembus batas pendidikannya.
Darinya, saya sadar banyak dari kita (bahkan saya sendiri) masih sering menghabiskan waktu untuk aktivitas yang kurang bermanfaat. Bahkan terkadang belum apa-apa sudah berpikir uang dan pertimbangan materi lainnya. Hingga urusan untuk menuntut dan berbagi ilmu pun menjadi tersingkir.
Tidak pernah saya menyangka di balik kesederhanaannya dan sikap sahajanya, tersimpan nilai-nilai kerja keras dan semangat juang yang tinggi. Ya sikap yang sederhana dan sikap apa adanya bukan berarti kita tidak punya apa-apa. Justru sebaliknya, impian yang dibungkus dengan kesederhaan, diusahakan dan dijalani dengan sikap apa adanya membuat kita semakin bersyukur. Rasa syukur yang tulus akan terus melapangkan usaha kita untuk semakin mendekat dengan impian tersebut.
Demikianlah cerita saya tentang Mas Beny. Karenanya tidak berlebihan rasanya bila saya menyebutnya "sederhana dalam hidup, kaya dalam karya".
Keep Learning, Keep Growing!!!